Tuesday, June 12, 2007

"Bapakmu ITB?"

Ketika mahasiswa tak lagi punya mimpi

Oleh Fadilla Tourizqua Zain dan M Arfah D
Boulevard ITB


Seorang alumni Teknik Sipil angkatan '86 menangis. Dia khawatir orang tuanya di Solo tidak makan layak beberapa hari. Sebab uang hasil narik becak bapaknya ditukar dengan sebuah kalkulator.

Bagi mereka yang datang dari berbagai pelosok Indonesia, merantau jadi bukan kata asing lagi. Mereka membawa mimpi dari tempat asal mereka. Keluarga tentu punya harapan besar bahwa anak mereka akan meraih sukses di kampus gajah ini.

Itu dulu. Sekarang, fenomena yang terjadi berbeda. Tidak sedikit mahasiswa ITB yang menyandang status generasi kedua. Alias orang tuanya lulusan ITB. Mereka mau tidak mau dititipi mimpi oleh orang tua mereka. Si generasi pertama. “Secara nggak langsung, yaa emang bokap gue ngarahin gue untuk masuk ITB,” aku Gita Prima Ramadhanti (TL ’04). Orangtuanya adalah alumni ITB angkatan 1978.

Senada seperti yang diakui Gita, temannya, Dyah Wulandari Putri (TL ’04) juga bercerita. “Dari kecil, Ibu bilang untuk mengikuti jalur SMP 5, SMA 3, lalu ITB,” ungkapnya. Wulan, begitu ia akrab disapa, bukan mahasiswa perantau. Dia besar di Bandung. Kedua orang tua Wulan juga jebolan ITB. Ibunya, Endang Juliastuti (ITB’78), kini berprofesi sebagai dosen di Program Studi Fisika Teknik ITB.

Baik Gita maupun Wulan punya keinginan tersendiri sebelum akhirnya kejeblos di ITB. “Dari kelas 2 SMA, waktu gue mau penjurusan. Sebenernya gue pengen masuk IPS, karena gue mau masuk Komunikasi,” kata Gita. Namun keduanya juga bersyukur dengan keadaan mereka sekarang. “Aku emang bukan tipe yang kreatif, yaa ikut aja apa yang dibilang ibu,” kata Wulan. “Kalau gue nggak di sini, mungkin gue udah terdampar di universitas swasta jakarta entah apa, hahaha...,” timpal Gita.

Lain lagi dengan Yuki Hastarina (FA ’02). Dia kini sedang menjalani Tugas Akhir, tapi masih mengutuki diri yang rela masuk jurusan yang tidak diminatinya itu. “Sejak SMA, almarhum bokap gue menyuruh gue masuk ITB. Bukan menyarankan, benar-benar nyuruh. Bahkan waktu mendekati SPMB dia spesifik nyebut satu jurusan. Farmasi.”

Almarhum ayah Yuki adalah lulusan Kimia. ”Waktu itu ayah bilang, kalau masuk Farmasi mungkin saya bisa bantu-bantu di proyeknya.” Yuki sendiri sebenarnya berkeinginan kuliah di Psikologi Unpad. Kalau dipikir, Farmasi ITB dan Psikologi Unpad sedikit banyak kan berhubungan dengan medis, “Gue suka belajar tentang manusia. Tapi bukan tentang anatominya. Gue lebih tertarik dengan sisi psikisnya.” Namun ayahnya saat itu tak kunjung menghiraukan keinginan Yuki. “Bokap emang mendidik anak-anaknya dengan keras. Keinginan gue sepertinya jadi angin lalu aja. Hidup gue seakan-akan tuh dia yang garisin.”

Sadar dengan keadaan, Yuki mencoba melihat-lihat jurusan apa di ITB yang kira-kira cocok untuknya. Tapi Yuki tidak menemukannya. Akhirnya ia pasrah. Kode jurusan Farmasi dan Biologi ITB ia lingkari di formulir SPMB. Keduanya pilihan sang ayah.

Perasaan ‘salah jurusan’ mulai ia rasakan saat lepas dari TPB. Dia sempat cuti kuliah pada semester 6. Inilah titik jenuhnya. Semua rasa bercampur; jenuh dengan kuliah yang tidak ia senangi, kehilangan ayah, dan harus bekerja. “Tapi ada sedikit rasa lega dalam hati saat itu. Satu tekanan hilang.” ungkapnya.

Gita, Wulan, dan Yuki. Bukan berarti mereka tak bisa mengembangkan minat mereka. ”Gue pernah waktu itu memintal. Dan gue nunjukin hasil pintalan ke bokap gue. Trus tau nggak bokap bue bilang apa, ’Masa udah papa sekolahin jauh-jauh ternyata hasilnya jadi tukang jahit?’, hahahaha..., ” cerita Gita. Cita-cita Gita sebenarnya sederhana. ”Gue pengen jadi ibu rumah tangga yang baik. Nggak mau kerja kalo bisa.” Tapi baginya itu hanya sekedar cita-cita. Dia harus tetap bekerja seperti lulusan kebanyakan. Dia dan Wulan ingin kerja di perusahaan industri. Yuki juga menikmati perannya. Dia bersama temannya mendirikan usaha. Yuki kebagian bidang keuangan. ”Gue sadar gue bagus di angka-angka, dan gue menikmati banget.”

Coba sekilas kita menikmati keromantisan masa lalu. Nur Rahman As’ad lulusan Teknik Mesin angkatan 1990, yang kini berprofesi sebagai Dosen Teknik Industri di Universitas Islam Bandung, bercerita betapa kebersamaan begitu kental. ”Dulu saya tinggal di asrama Kebon Sirih, tempat kami dari Sulawesi Selatan berkumpul, pulang ke kampung halaman bersama, balik ke Bandung pun bersama.” Di tahun 90-an, saat lapangan sepakbola, basket, dan tenis masih berada di tengah kampus, sore sehabis ujian hari Rabu, mahasiswa TPB berkumpul di sana. Tiap sore daerah Student Center (SC), begitu nama Campus Center dahulu, dipenuhi dengan suara gamelan, gendang, teriakan-teriakan mahasiswa yang sedang berolahraga, segala UKM berkumpul dan berkegiatan. Loedroek dan LFM menjadi salah satu hiburan rutin dan murah bagi mahasiswa.

Jika membandingkan dengan zamannya, Nur Rahman tentu melihat perbedaan besar. ”Daya juangnya beda, mungkin karena mahasiswa sekarang lahir di keluarga mapan. Jika saya pulang dari kerja lewat jalan Ganesha, saya lihat tumpukan motor dan mobil di parkiran depan.” Lebih lanjut ia bercerita, bahwa mahasiswa dulu punya keinginan besar dan punya alasan kuat untuk masuk ITB. ”Kami datang dari jauh, hidup dengan uang kiriman seadanya. Dulu ada kantin Tubagus di lokasi pembangunan ruko, depan MCCF di Tubagus dekat Simpang. Pernah satu akhir bulan, ada seorang kawan ngambil lauk lebih dulu, baru ngambil nasi buat nutupin lauknya. Hahaha.”

Kuliah selalu diisisipi dengan pewacanaan sosial atau politik. ”Mungkin karena dulu banyak dosen muda,” ungkap Nur Rahman. Tak heran, saat bendera himpunan atau sebuah organisasi dikibarkan oleh seseorang di depan gerbang, secara spontan mahasiswa berkumpul dan berorasi. Berbeda dengan mahasiswa sekarang. Apa mungkin beban kuliah yang semakin besar? ”Tugas kuliah, sama beratnya saya pikir. Bahkan kami dulu tak pernah dibiarkan mapan dalam belajar. Tapi untuk batas waktu menjadi mahasiswa. Itu memang!” lanjutnya.

Sekarang, begitu banyak yang berubah. Terlepas dari zaman yang berbeda, tentu ada indikasi generasi kedua menjadikan mahasiswa sekarang tidak sama dengan mahasiswa dulu. Tak punya mimpi, berimbas pada daya juang yang semakin menipis. []

------
Boulevard ITB Edisi 57

No comments: