Sunday, December 18, 2005

Fesyen, Prejudis, Hingga Infotainment : Birahi Kekerasan Psikologis

“Sebuah keluarga muda-kecil-bahagia memasuki gedung supermarket. Tampak sang ibu menggandeng anak pertamanya. Baru saja lulus Taman Kanak-kanak. Beberapa orang yang berpapasan tertegun melihat mereka. Sang Ayah, berambut layaknya sapu, jaket kulit, rantai dan dua tato ular di lengan setia menemani. Sepatu bot tentara tampak gagah dipakai. Ibunya setali tiga uang. Bahkan lebih warna-warni pada mahkotanya. Ketika berbelanja, sang anak berlarian dan hilang dari pandangan. Sempat mencari, akhirnya Ayah pun menangkap jagoan kecilnya. Sambil menggendong, ia berkata “Jangan jauh-jauh dari Ayah atau Ibu. Bisa-bisa kamu nanti diculik orang yang mengerikan”.”

Guyonan ini sempat dimuat di sebuah majalah berbahasa inggris yang sudah ditransliterasikan menjadi bahasa Indonesia. Tersenyum? Mungkin bisa ironi. Fesyen memang telah menjadi sebuah identitas. Tapi konstruksi persepsi berdasar apa yang kita lihat, relasi visual penglihatan dengan apa yang pertama muncul di benak kita, telah mengalami pergeseran. Sejak awal memang ke-aku-an tak pernah muncul di komunitas komunal yang menghuni nusantara. Gotong royong, rame-rame, dan kebersamaan adalah sebuah spirit. Ketika fesyen sebagai identitas telah ditentukan secara sadar ke dalam diri kita sendiri, dan secara tidak langsung akan menggeser peran dan konsep komunitas komunal itu, bolehkah kita mengeluarkan prasangka? Adalah memang, secara psikologis, seseorang tidak mudah menerima apa yang tak ia ketahui sebelumnya. Waspada, sebuah mekanisme pertahanan diri sendiri. Begitu juga, sesuatu yang menjadi determinan akan menjauhkan dirinya dari rasa aman. Karena ia beda, maka ia tak sama. Walau secara peran, pria berdandan beda tadi adalah sama, sebagai seorang ayah yang melindungi kepentingan keluarganya, buah hatinya, putranya.

Dalam dunia sosiologis, peran dapat diartikan sebagai sebuah set harapan budaya terhadap posisi tertentu. Kita dapat mengatakan peran pria tadi sebagai Ayah, jika dia menampilkan ‘identitas’ diri, kepribadian, perilaku verbal (berbahasa layaknya seorang ayah), non-verbal (tegas, bisa melindungi, bahasa tubuh dsb) seperti seorang ayah seharusnya. Sementara ‘identitas’ awal yang kita pahami adalah berdasar pada fesyen, tampilan visual yang dianutnya. Andreas Schneider mengungkapkan peran lebih mengacu pada harapan (roles refer to expected) dan tidak sekedar pada perilaku aktual. Juga bersifat normatif daripada sekedar deskriptif. Harapan seorang anak, terhadap ayahnya, adalah menjadi seorang ayah. Yang melindungi, tegas dan memberikan rasa aman. Namun, apa harapan seorang ayah yang lain, ketika anaknya bertatap muka dengan sang pria rambut sapu tadi? Peran prasangka, akan bermain cukup kuat. Seorang aktor utama, prasangka tadi akan bisa berubah menjadi tingkat yang lebih tinggi. Diskriminasi, pelecehan, permusuhan, bahkan mungkin eksterminasi.

Dalam pendekatan sistem tanda, Umberto Eco sebagaimana dijelaskan oleh Yasraf (2003), mengatakan semiotika adalah berkutat pada segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie). Bahwa pada prinsipnya satu bentuk representasi adalah sesuatu yang hadir namun menunjukkan bahwa sesuatu di luar dirinyalah yang dia coba hadirkan. Representasi dandanan beda dan rambut sapu dari sang pria tadi, adalah mungkin bentuk kesadaran, mungkin juga kebohongan. Tapi tak serta merta kita berhak untuk melabelinya sebuah teror. Fesyen dapat ber-relasi menjadi sebuah persepsi yang mungkin terdistorsi menjadi prasangka. Distorsi dalam komunikasi dan informasi visual. Seperti halnya dunia infotainment yang mulai meresap dalam pembicaraan hingga pemikiran manusia Indonesia mutakhir ini. Dimana pergunjingan akan sebuah peran seseorang dan konsekuensinya adalah lumrah untuk diketahui secara komunal. Pembenaran akan menjadi sebuah identitas yang akan sering dilihat, menjadi figur publik, serta merta memberikan justifikasi untuk mengorek kehidupan bahkan kepribadian seseorang.

Penampilan, fesyen, imaji, persepsi dan ilusi tertuang menjadi bentuk budaya yang luar biasa mengakar pada masyarakat kosmopolitan pos-milenium dan pos-republik di nusantara kini. Simulakrum yang mentah menjadi guru, di-gugu dan di-tiru. Dipercaya dan ditiru. Bentuk-bentuk komunikasi dan informasi visual mudah dicari, dicerna dan diterima. Komunitas komunal yang dulu bertahan pada falsafah membangun bersama, kini menjadi komunitas komunal yang bertahan pada imaji dan identitas bohong yang sama, akibat konstruksi media massa visual. Infotainment pun seolah ingin unjuk gigi menjadi penyeimbang, berkata manis, penuh tawaran moral dan pesan ketimuran. Namun sungguh, ketika figur publik memiliki nilai guna, maka prasangka adalah komoditas. Ketika seorang Andhara Early hamil setelah diberitakan cerai dengan suaminya, seolah opini digiring. Andhara bermain selingkuh dengan pria lain. Zina. Sebuah tuduhan seram, seseram hukuman adat, dan agama yang ada. Begitupun Pingkan Mambo, yang tiba-tiba dititipi sebuah nyawa tambahan, persepsi terbentuk berdasar prasangka. Ada apa dengan Pingkan? Sudahkah ia menikah? Apakah memang itu lazimnya perilaku manusia berkostum panggung, erotik dan eksotis, menarik, rambut warna cerah, baju sobek, tonjolan seksi, cantik, indo, tampan, parlente, dan segala topeng karakter dunia hiburan? Bebas dari norma, dan bergaul sesukanya?

Terlepas apakah memang seperti itu, kini main hakim sendiri tak cuma konsumsi preman dan kumpulan masyarakat bawah yang sakit secara ekonomi. Di tengah keluarga kita pun, di dalam diri kita pun, proses pengadilan telah terjadi. Berdasar apa yang kita tonton, dan mungkin secara sadar, kita pun mengamininya bahwa kita adalah hakim sekaligus jaksa. Ketika beda adalah sebuah hal yang kentara, waspada kita telah berubah menjadi sebuah eksekusi. Benar dan salah, kita leburkan dalam sebuah konflik, dan labeli dengan sebuah kemasan indah, ragam berita infotainment. Memang, itulah sebuah proses pendewasaan masyarakat verbal menjadi masyarakat visual. Masyarakat yang mulai berhobi tak lazimnya masyarakat timur. Kegemaran baru masyarakat bumi elok khatulistiwa ini tidak lagi berusaha membangun bersama. Tapi hanyalah menggilai birahinya untuk menuduh sesama, cuma berdasar pada prasangka. Lalu, bukankah itu sebuah bentuk kekerasan psikologis?

Adi Nugroho

Konstruksi Keajaiban Unilever, Kebersamaan Merangkul Kebebasan Individu.

Mengamati cara bicara dan bahasa rupa dari sebuah iklan di Indonesia kadang menarik, kadang membosankan. Bahasa rupa dan tanda yang dipakai, cenderung hanya berdasar pada keinginan pasar tanpa ada terobosan berbicara yang layak dipandang sebagai pendewasaan masyarakat transisi oral-verbal menuju visual. Jelas iklan Indonesia tak bisa disamakan dengan iklan Amerika atau iklan barat. Kita beda. Komunitas kita memiliki karakteristik yang tak sama dengan mereka. Para londo itu menggilai seks, humor, menjunjung individualisme, liberalisme, hedonisme, dan konsumerisme. Para bumiputra menyenangi nongkrong, mangan ora mangan ngumpul, ketawa bersama, mistis, pergunjingan, dan kekeluargaan yang terdisorsi. Akhirnya kepada siapa kita berbicara? Tentu saja, masyarakat urban kosmopolitan Indonesia tak bisa lepas dari pengaruh kebiasaan londo yang mereka gampang cerna, ketahui dan amini.

Komunitas urban adalah komunitas yang lebih terbuka, dan kadang bahkan tak sadar kenapa ia memilih sebagai orang yang terbuka. Kelompok komunal yang meleburkan gila seks, humor, individual, hedonis, konsumeris, tapi sekaligus nongkrong, penyuka mistis, bergunjing bersama, dan merasa memiliki rasa kekeluargaan yang terdistorsi. Bagaimana berbicara dengan kelompok seperti ini? Unilever cukup jeli dan bisa menjadi menarik dalam menebak kondisi masyarakat banci ini. Setidaknya bisa kita lihat dalam kampanye iklan Lifebuoy, dan Rinso paling mutakhir. Lifebuoy dan Rinso bermain dalam tataran kebersamaan namun akhirnya juga menghargai kebebasan dan keterbukaan seorang individu. Lifebuoy, khususnya dalam kampanye anti jerawatnya berkata, “..anak muda terserah ingin melakukan apa saja. Tunjukkan keberanianmu, kebiasaanmu, kebisaanmu, siapa engkau dalam komunitasmu. Jika selama beraktifitas kemudian timbul jerawat, usah kau khawatir, serahkan urusan itu pada Lifebuoy..”. Ini bisa dilihat pada kampanye Jawara tak takut jerawat sabun Lifebuoy. Sementara Rinso dengan jinglenya yang sangat catchy dan mungkin akan stuck in your head, menampilkan kampanye Berani Kotor itu Baik. Dalam tampilan visualnya, iklan itu mengajarkan kita untuk bisa melihat dari sisi lain. Seorang anak yang ikut bermain kotor-kotoran, seorang pria yang ikut mendorong mobil mogok bersama temannya saat hujan becek, dan anak bersama kelompoknya berkubang di sawah. Apa yang kita lihat? Sebuah keinginan untuk melakukan sesuatu yang baik, atau hanya kekotoran yang akhirnya bisa menimbulkan penyakit? Dengan penutup berani kotor itu baik, maka Rinso seolah menjadi pahlawan layaknya Lifebuoy. Bermainlah, berkotor-kotorlah, setelah itu serahkan semuanya pada Rinso, dan juga Lifebuoy. Sebuah pilihan. Memilih, adalah bentuk perilaku individu. Freedom of choice, yet I already know whom I choose.

Keduanya memberikan kesempatan bagi target pasarnya untuk bebas melakukan aktifitas kebersamaan apapun, bahkan yang kotor sekalipun. Tapi ketika kembali ke urusan mencari pelindung dan pahlawan, maka secara samar kita diarahkan untuk memilih karakter hero idola yang membebaskan fansnya, namun ketika dibutuhkan ia akan sukarela menolong kita. Tanpa perlu mengomel. Tanpa perlu menggurui. Bagaikan keinginan remaja terhadap orangtuanya ketika puber tiba. Rinso dan Lifebuoy adalah sang Pahlawan Idola tadi. Semiotika yang dianut adalah menggabungkan kebersamaan dengan ujung kebebasan individual. Seks jelas tak mungkin masuk di sini. Tahapan bumbu seks terhadap produk yang bukan seksis di nusantara belum bisa dipahami secara komunal. Pun tentu bukan tanpa maksud kampanye ini, dengan tema yang mirip sama, diluncurkan dalam waktu yang hampir bersamaan. Keduanya produk unilever. Dan keduanya dapat saling menunjang dengan asas manfaat yang cukup sama. Kebersihan, dan juga kesehatan. Harapannya, keduanya akan dikonsumsi secara bersama pula.

Adi Nugroho
17400029

Tuesday, November 29, 2005

A Talk about Productivity and Globalism.

One of the weaknesses that Indonesian workforce has is its low productivity. Professor Richard Moore from California State University said that in relation to the cheap labor, the workforce tends to get wasted. In other countries such as America, they have minimum wages for worker.That way company will be selective for the kind of job they offer. For example, in Indonesia there are jobs such as coffee boys and chaffeur, but in other countries the cost to hire someone to do such job is too high that employees simply has to make their own coffee and drive their own car. He mentioned that the servant in Indonesia can make Rp.700.000/ month while a servant in California can make Rp.11.000.000/ month. Why? It’s all about productivity. Usually, what you earn reflect your productivity. One servant in California can serve more people compare to here and make more value at their workplace. Even if Indonesia have a minimum wages now, it will not work because the company will not earn enough to pay their employees. At the moment, companies in Indonesia are trying to find the cheapest labor and they will soon have to find another way to compete because the cost of labor are due to change and the only way go is increasing their productivity.

To be productive, there important factors to consider such as capital, infrastructure, management, and the quality of people. In term of the quality of the people, Professor Watson from Kent mentioned that there is a need for professionalism at al level in Indonesian workforce. He feels that in all levels of work people are not up to global standard therefore training for workers are needed. People have insufficient quality assurance, bad time management and there are low supervision in general. This is because many workers are recruited based on nepotism, have no motivation to do better in their job and low practical field. That way, again, proper training is definetely something that workers in all level need, because even people at top position of the company still have the lack of professionalism.


We also aware that globalization will affect our economy, so in term of it what will happen? Professor Moore said that theoritically and in term of productivity globalization is good, because company that produce the cheapest product will sell. For example, if China produce the cheapest motorcycle and America produce the cheapest software they simply have to buy from one another and therefore complete each other. But, he also added that it does not always work that way. Some might say that globalization perpetuates economic inequality based on system of complimentarity or make the poor country even poorer. But whether we agree or not, it already affects our economy and lock us into the global system.

So what can we do to survive in it? Professor Moore mentioned that to be sucessful we need to keep learning and be innovative. The competition between workers will be very strict and the requirement of qualified and “productive” workers keep changing everyday. For instance, the ability of speaking English is a must for worker today, the next day it could be English and Mandarin. We need to be “updated” to every kind of technology and skill, because it is not a matter of surviving at work. It’s a matter of suceeding. We all want to be sucessful don’t we?

Yuanita Christayanie

(Based on Interview with Professor Richard Moore and Professor C.W. Watson)

A published in SBM News, November 29th, 2005.

Monday, November 21, 2005

BREAKING NEWS!


and see for yourself..


Apaan sih sok misterius gini.

Blog Boul yang baru ini salah satu hasil dari Raker kemarin. Isinya murni untuk komunikasi, jadi tulisan-tulisan Didot tetep masuk blog yang ini aja ya.. :)

Saturday, October 15, 2005

Prasangka dan Keindahan Berpikir

Lagi-lagi prasangka. Sebuah penyakit sosial dan individu masyarakat Indonesia. Entah itu dikompori sinetron, infotainment, atau bahkan gosip tetangga sebelah. Kronis, dan menular. Banyak yang berkata, itu adalah sifat dasar manusia. Dari prasangka berkembang menjadi imaji, dan timbullah stereotipe. Pandangan mengenai seseorang, sesuatu, memang dilihat dari apa yang ia lakukan. Namun, tak senaif dan sebodoh itu. Jika kita bisa berpikir anti negatif, maka dibalik apa yang terlihat, tersimpan sesuatu yang membuka mata. Tapi sekali lagi, tak semua orang dikaruniai keindahan berpikir, memaknai dan mempunyai kemampuan deduksi maksimal. Kadang, orang hanya ingin hidup di dunianya sendiri. Individual, namun hidup dalam masyarakat yang sangat sosial. Akhirnya, cari aman. Hindari konflik. Kultuskan individu. Tapi ketika ia mendapat kesempatan, pukul, tabrak, dan lari. Sepanjang itu tidak menyangkut dirinya, aman. "Boleh deh ngapain aja, asal ga nyenggol gue". Oportunis, pengecut, dan egois. Pola berpikir yang tidak dewasa, akhirnya selalu membenturkan keinginan pribadi dengan apa yang dihadapinya dalam kenyataan. Ia takut, dan, untuk membuatnya merasa aman dan nyaman, segumpal prasangka yang menampilkan sisi buruk lawannya muncul. Cari selamat, ia kuatkan prasangka tadi ke dalam kelompok besar, pergaulan, masyarakat, hingga mungkin negara. Konformitas muncul, tenang didapat. Perasaan selalu benar pun keluar. Superior, dan menanamkan inferior ke yang lain. Seakan hina, tak mau bekerjasama, dan hilanglah rasa kebersamaan. Pun, itu tak selamanya salah. Karena ia hanya mencari suaka. Ia tak tahu harus bersikap apa. Berpikir seperti anak kecil, dan ngotot dengan keinginannya, hingga tak acuhkan sekeliling. Salahnya adalah, kadang masyarakat kita kurang kesadaran. Kesadaran mengakui kesalahan, dan mengakui seseorang lebih baik dari kita. Dan kesadaran bahwa kita adalah mahluk sosial. Bukan segerombolan hipokrasi yang hanya mencoba menanamkan imaji dan prasangka.

Tapi, lagi, banyak yang berkata itu sifat dasar manusia. Bahkan Tuhan pun menyadari itu, dan memasukkanya ke dalam bentuk kejahatan. Apakah manusia, kita, menyadarinya?

Tuesday, August 09, 2005

Kembalinya WWW.BOULEVARD.OR.ID

Teman-teman, saya membuat tulisan singkat soal web Boulevard. Dapat di download untuk kemudian dibaca:Setelah Sekian Lama, Kembalinya WWW.BOULEVARD.OR.ID Tenang aja, cuma tulisan pendek kok.

Hmm... dengan kembali hidupnya www.boulevard.or.id, weblog yang ini (http://boulevard.itb.blogspot.com) dijadikan blog untuk diskusi informal-internal aja yaa....

Thursday, July 14, 2005

ganesha, sebuah anomali

"arogan dan tak bisa bekerjasama"

Pendapat, pernyataan, dan sebuah 'tonjokan', katakanlah, yang mafhum terlontar ketika berbicara mengenai lulusan institusi ganesha 10 bandung. Bahkan Kus, mantan rektor, telah berulang kali berkata seperti itu, curhat, hampir dalam berbagai kesempatan. Hingga ia 'menganjurkan', bahkan hingga 'mendorong' mahasiswa untuk gaul, gaul, dan gaul. Menjadi suatu pertanyaan, apakah memang alumni kita seperti itu? Sebelum sebuah kata "tanyakanlah pada diri anda sendiri" tampil di tulisan ini, sebuah pemahaman mengenai lingkungan, dan geo-sosio-politik tempat anda berada harus disadari lebih dulu. Maksudnya? Begini, hampir selama kita belajar, mengenal sebuah lingkungan sosial paling kecil hingga akhirnya kita menimba ilmu pada bangku pendidikan -dasar hingga atas-, satu hal yang selalu ditanamkan adalah sebuah nilai moral bernama kekeluargaan.

Tentu, memang itu tidak salah. Itu bagus, sangat bagus, hingga akhirnya terjadilah sebuah pengkultusan. Distorsi dan disorientasi terjadi. Secara teratur dan sistematis, pemerintahan Republik Indonesia dengan restu dan pemikiran Soeharto, Nasution, Amir Mahmud, dkk, terjerumus kedalam sebuah sistem yang sangat militeristik. Bagaimana tidak, secara struktural, pemerintahan sipil memiliki garis komando. Mulai terkecil RT/RW, hingga MPR/DPR. Memang, itupun juga tidak salah. Tapi ketika berbicara keamanan, maka, unsur 'kekeluargaan'lah yang berbicara.

'Kekeluargaan'? Jangan lupa pada tingkat terkecil pun, ada yang namanya Hansip dan Babinsa. Apakah ini berarti unsur militer mencampuri urusan sipil? Demi tercapai stabilitas kebijakan politik, pada tingkat regional seperti kota atau kabupaten, dan propinsi terdapat yang namanya Muspida. Musyawarah Pimpinan Daerah. Walikota atau Gubernur, harus melakukan rapat dengan Muspida, dimana di dalamnya terdapat unsur Kepala Polisi, dan Komandan Militer.

Kekeluargaan, dalam sebuah lingkungan sipil, masih memerlukan unsur militer? Bukankah seharusnya, dalam satu daerah, kepala polisi dan kepala militer berada di bawah kepala daerah. Karena mereka adalah unsur keamanan, bukan untuk membuat kebijakan, policy, atau tidak lain bukan untuk ber'politik'. Yang lebih menggelikan lagi, sebagai contoh, dalam sistem kepegawaian pegawai negeri, terdapat yang namanya Dharma Wanita. Sebuah perkumpulan bagi istri pegawai negeri, seperti halnya persatuan istri tentara. Dibalik seabrek kegiatan jalan-jalan keluar negeri dan program tidak jelas lainnya, sebuah hal menarik mengenai eksistensi istri dalam Dharma Wanita, berpengaruh besar terhadap posisi, jabatan dan kepangkatan sang suami. Kasarnya, hati-hatilah suami, ajarilah istri anda untuk aktif, sopan, dan manut, dalam dharma wanita, atau karier anda mandek. Lagi-lagi, sebuah kekeluargaan memang. Namun, karena 'kekeluargaan' tadi, maka penilaian terhadap satu orang tidak akan berdasar pada kapabilitas, intelegensia, dan apa yang dapat ia sumbangkan pada negara, namun pada sebuah 'nilai kekeluargaan' yang berdasar pada sistem dan norma sosial. Itulah sebab, orang-orang pintar di negeri ini, tidak mungkin untuk memberikan kontribusi berharga bagi perbaikan bangsa, karena, jika anda tidak memiliki 'kekeluargaan', maka anda tidak mungkin masuk ke sistem yang ada. Kesempatan individu tidak akan diberikan tempat bagi sebuah lingkungan yang menganut 'politik kekeluargaan'. Tidak ada kompetisi, dan tidak ada kesempatan untuk menunjukkan apa yang terbaik dari kita.

'Kekeluargaan' bercampur dengan 'komando'. Komando berarti terdapat jenjang, status, dan strata. Gampangnya, senioritas. Tunduk dan patuh pada yang berada lebih di atas. Dan yang di atas, akan selalu menganggap remeh yang di bawah. Tidak ada dialektika, diskursus, dan transfer ilmu masih berdasarkan sistem guru, (jw) di-gugu lan di-tiru (di turuti dan di tiru). Dan parahnya, hal ini juga berlaku sebagai sistem 'sosial masyarakat' di lingkungan pendidikan tinggi. Kampus, dengan arogansi himpunan, dan metode orientasi studinya. Sekali lagi, potensi individu yang ada tidak dapat maksimal, karena hilangnya kesempatan.

Lalu, ketika label "arogan dan tidak bisa bekerja sama" mengikuti brand image tiap lulusan ganesha 10, apakah berarti kita memang benar-benar arogan, tidak tahu diri, dan sombong bisa mengalahkan siswa sma manapun, bisa mengenyam pendidikan dengan prestise dan nama besar institusi akademis, ataukah kita hanyalah sebuah anomali dari sebuah sistem yang menganut pada 'politik kekeluargaan' tadi, dimana kita masih menghargai dan tidak memandang remeh kapabilitas dan potensi dari tiap individu, dan kita masih bisa berdebat, sejajar, dan menghilangkan status dan strata yang ada di antara kita, dengan mengakui kelemahan, terbuka akan hal-hal baru, namun juga sekaligus berproses dalam melakukan transfer ilmu, dan pengetahuan karena pengalaman kita yang lebih dulu?

Anomali, yang mungkin tidak akan bersemayam, dalam jiwa seorang yang berhenti berproses, seorang yang berkata "sudah dan ya", seorang yang tidak berani berkata "tidak", dan seorang yang mengagungkan kebersamaan, namun mengkultuskan individu, mencapai keberanian dan keberhasilan atas sesuatu yang dipaksakan, bukan sebagai sebuah pembelajaran.

Adi Nugroho

Monday, June 06, 2005

Kus: Saya Tidak Surprised Menjadi Menteri

Kusmayanto Kadiman kembali mencatat sejarah. Rektor pertama di era BHMN ini malah berhenti di tahun ketiga-nya untuk kemudian menjadi menteri. Apa yang terjadi? Mengapa ia memilih menjadi menteri? Simak penuturannya kepada wartawan Boulevard ITB Ikram Putra.

Bagaimana perasaan Anda, menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi?
Hampir nggak ada perubahan tuh. Sama seperti pada November 2001. Orang-orang bertanya: bagaimana rasanya jadi rektor? Nggak ada, biasa aja tuh.
Itu semua kan bukan sesuatu yang dropped from the sky. Karena dia bukan ujug-ujug (tiba-tiba, red), makanya tidak ada perubahan yang dramatis. Mungkin ini terdengar sebagai pembenaran. Memang saya berupaya menjadi menteri. Iyalah, namanya juga manusia, tendensinya membuat dirinya tumbuh dan naik terus.
Saya tidak begitu surprised karena sebelumnya saya juga sering bertemu dengan tim sukses Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi saya juga ketemu dengan tim sukses Mega. Itu posisi yang saya mainkan, supaya ITB aman. Dia menjadi dekat dengan semua pihak, dan membuat equidistance kepada semua pihak.

Kapan sering bertemu dengan tim sukses calon presiden?
Menjelang pemilihan presiden putaran kedua. Saya banyak mendekati mereka, mengundang berkampanye di kampus. Saya terpaksa, karena pendekatan-pendekatan biasa itu sulit sekali. Mereka-mereka itu kan punya barikade yang luar biasa. Nah itu harus ditembus dengan cara-cara yang tidak biasa. Pak Aryo (Ir.Aryo Wibowo, Ketua Satgas Pemilu ITB—red) saja, otorisasinya tidak cukup kuat untuk menembus barikade itu. Nah, saya merasa punya network yang suka aneh-aneh. Dari preman sampai menteri. Saya juga punya legalitas sebagai rektor ITB.

Apakah Anda tidak sadar, jika Anda merapat terus, bisa-bisa dijadikan menteri?
Celetukan dari beberapa bilang, “Kus, mereka pasti mencari profesional. Sedangkan Anda itu figur yang profesional, netral dan nonpartisan. Dia pasti butuh,”. Di kancah Indonesia sekarang, orang seperti saya ini katanya langka. Artinya yang berjuang tanpa membawa kepentingan pribadi atau golongan. I’m a soloist lah, dalam hal ini. Walaupun tidak semuanya benar.
Saya mulai merasa bahwa saya akan diajak, begitu mereka mulai minta “Pak Kus, tolong tuliskan selembar-dua tentang pemikiran Anda tentang education, telecommunication,”. Mereka berdalih ini untuk memperkaya pidato-pidato saat mereka kampanye. Ada dong, firasat “aku sedang diincar, nih” atau sedang di-talent scout. Okelah, I do my best. Dan di bidang-bidang yang saya mengerti.

Tapi tetap, ada keterkejutan publik ketika Anda muncul di Cikeas…
Beberapa kalangan kecil yang mengetahui gerakan saya sih bilang tidak aneh. Nah, karena itu beberapa kali saya sering—dengan gaya bercanda saya—mengatakan: mimpi kali yee? Itu untuk menenangkan mereka bahwa saya tidak bermain aneh-aneh.

Memangnya seaneh apa sih permainan Anda?
Saya hanya tuliskan singkat tentang pembentukan departemen baru. Kemudian saya usulkan juga, kepedulian saya akan dunia telekomunikasi Indonesia. Saya mengatakan bahwa kontribusi Information and Communication Technology terhadap pendapatan negara kecil sekali. Kita lakukan kajian disini. Saya juga menyoroti inefisiensi penggabungan antara content dengan infrastruktur. Apalagi dengan diletakkannya telekomunikasi di bawah Departemen Perhubungan. Itu kan aneh. Saya mengusulkan telekomunikasi dimasukkan ke Kementrian Informasi dan Komunikasi, yang selama ini hanya content—itu pun menjadi corong pemerintah.

Dengan begitu banyaknya ide-ide tentang hal-hal tadi, mengapa Anda masih mengatakan belum mengetahui benar mengenai seluk-beluk Riset dan Teknologi?
Saya lebih suka to deliver beyond my promise ketimbang under. Makanya nggak usah cerita yang aneh-aneh lah. Mending ABG (Academicians, Businessmen, Government—red.) dulu deh. Konsep-konsep yang sederhana.
Itulah mengapa agenda hari pertama saya tidur. Karena memang capek sekali. Orang-orang kan sudah ada di Jakarta, sedangkan saya masih di Bandung. Mengantuk sekali.

Adang Surahman ditetapkan menjadi pejabat sementara rektor dalam dua bulan ke depan sampai terpilihnya rektor baru…
Itu aneh. Itu melanggar siklus kita yang lima tahunan. Menurut saya, angkat saja untuk menghabiskan waktu. Yang saya harapkan itu biarkan saya sebagai rektor—bukan berarti saya pencinta jabatan, namun menjaga kekompakan tim. Memang melanggar PP 155/2000, tapi jika kita kompak semua, nggak melanggar dong namanya. Sampai Desember saja, saya hanya menjalankan kelangsungan operasi. No new big policy. Bersamaan dengan itu, silakan mereka memproses pemilihan rektor.
Tim saya sekarang ini kompak sekali. Begitu saya mundur, mereka juga mau mundur. Mereka bilang, “Buat apa? Kita kan kontraknya sama elo, bukan MWA”. Tapi, itu masih dibicarakan.

Ternyata rektor pertama di era otonomi hanya menjabat selama tiga tahun...
Yah, sebelum saya mengatakan: yak! gua mau jadi menteri!, itu sebenarnya pilihan yang berat sekali. Kalau saya tidak jadi menteri, beratnya itu adalah saat jabatan saya habis pada 2006. Terus gua mau jadi apa? Board challenge. Saya akan langsung pindah ke Eropa. Saya akan memimpin sebuah taskforce on Asia di European Commission, karena pengalaman internasional saya juga luar biasa banyak. Tapi, is that really what I want? Sementara 2004 ini kesempatan emas untuk go national.
Di sisi lain, ITB itu bayi saya, my cute baby, yang baru saja belajar merangkak. Nah, jika ditinggalkan bagaimana? Proses tarik-ulur ini cukup lama. Sampai teman-teman saya mengirim sms, bertanya “masih sakit perut?” karena mereka paham.
Kalau saya tidak ambil kesempatan menjadi menteri saat ini, saya harus menunggu sampai 2009. I’ll be too old already. Lantas ada vakum dari 2006 sampai 2009. Itu pilihan-pilihan yang ada. Sementara kawan-kawan bilang, “Take it! The country needs you! Kalau nggak, nanti para politikus dan para pedagang saja yang ada disitu.”

Bagaimana dengan Anas Hanafiah, yang mengaku memiliki raport merah Anda?
Lagu favorit saya adalah Forgiven Not Forgotten dari The Corrs. Saya mudah memaafkan, tapi butuh waktu untuk melupakan. Personally, I have nothing.
Saya nggak tahu apa maunya Anas. Dia bilang dia nggak pernah ketemu saya, padahal kita pernah ketemu di sini three hours on Sunday. Dulu pertama kali saya sempat ngambek sama dia. “Gila, ini anak maunya apa sih?”. Saya sempat berhubungan harmonis dengan KM—zamannya Alga Indria. Memburuk dengan Ahmad Mustofa, karena kalau berbicara sama dia sering tulalit.

Ada semacam lembaran pertanggungjawaban selama menjadi rektor?
Oh, harus. Tapi sebenarnya gampang. Karena tiap tahun kami sudah bikin laporan. Jadi mudah, saya hanya menyusun laporan dari Januari sampai 21 Oktober.

Apa harapan untuk ITB ke depan?
Kelangsungan transformasi dan operasi, yang sudah well-documented, itu dijalankan. Pegangannya apa, yaitu Rencana Kerja dan Anggaran 2004.


Wawancara di atas dimuat pada Boulevard edisi 50, November 2004

Wednesday, June 01, 2005

Cover Boulevard Digital

Cover Boulevard digital, beberapa edisi bisa diakses di album foto friendster Boulevard. Habis belum jalan-jalan web www.boulevard.or.id Sampai saat ini baru edisi-edisi diatas yang sudah ter-digitalisasi. Silahkan kunjungi!

Boulevard, Go Digital!

Wednesday, May 11, 2005

ANUGERAH INSAN BOULEVARD 2005

Penghargaan tertinggi kepada insan boulevard telah digelar hari rabu tanggal 4 mei 2005. sebanyak 96 suara telah masuk untuk 6 kategori. dan ini lah pemenang-pemenangnya:

Terbitan Terbaik : Boulevard 50, november 2004

Penulis Terbaik : Ikram Putra Nasution, GM'02

Perusahaan Terbaik : Aji Gautama Putrada, EL'03

Artistik Terbaik : M. Irfan Assaat, DKV'01

Newcomer Terbaik : Batari Saraswati, TI'04

Alumni Terbaik : Adi Nugroho, DKV'00

Selamat kepada para pemenang.

Friday, April 15, 2005

Rapat Redaksi 52 #2

Judul diatas dibacanya Rapat Redaksi edisi 52 yang kedua yah...

Rapat redaksi kali ini dimulai pukul 19.00, setelah yang muslim melaksanakan sholat maghrib. Berlaku sebagai pemimpin rapat adalah pemimpin redaksi, Maya Irawati. Sang Pemimpin Umum, AJI GPS, datang terlambat dengan alasan tidak jelas. Ada beberapa topik yang hilang, sementara topik yang lain berusaha lebih diperuncing.

Mereka-mereka yang datang pada rapat kali ini adalah: Irfan, saya, Ikram, Aji, Maya, Ani, Batari, Yasmin, Dito, hmmm..siapa lagi yah. Buka notulen manual aja deh. :P

Wednesday, April 06, 2005

Akan Datang, Edisi 52

Kami baru saja melaksanakan rapat perencanaan malam ini. Muncul beberapa masukan isu untuk edisi 52, antara lain soal Presiden KM (Aji), Lembaga Penelitian ITB (Maya), Campus Center (Principia), Sampah (Batari dan Yasmin), Kebiasaan Mencontek (Fardani), Mobil Goyang (Jofardhan dan Yuanita), dan Mahasiswa Asing di ITB (Ikram dan Ika).

Kali ini ada perbedaan: tiap penulis dibebaskan menulis sesuatu yang disukainya. Pekan depan kami akan menggelar rapat redaksi guna menyaring proposal liputan mana saja yang lulus dari seleksi Maya, sang Pemimpin Redaksi.

Semoga kami berhasil.

Lewat Kata Karsa dan Karya

Monday, March 07, 2005

Bertepuk Sebelah Tangan

Edaran Wakil Rektor Kemahasiswaan Tak Dihiraukan Mahasiswa

Oleh Aji GPS dan Ikram Putra

WIDYO Nugroho resah. Baru 22 hari menjadi Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, ia sudah dihadapkan pada wisuda mahasiswa. Acara ini, seperti biasa, bakal diwarnai dengan tradisi arak-arakan yang rentan memicu tawuran antarhimpunan mahasiswa.

“Destruktif,” kata Widyo tentang kegiatan pawai wisuda khas mahasiswa ITB itu.

“Anda tahu, acara wisuda adalah kegiatan yang berbiaya tinggi,” sambungnya. Ada dosen yang me-ngawasi agar tidak tawuran, banyak sampah berceceran,

Sadar dirinya adalah pendidik, Widyo tak mau tinggal diam. Ia lantas mengirim surat edaran kepada himpunan-himpunan mahasiswa dan unit-unit kegiatan mahasiswa untuk “mem-perhatikan dan menghindari hal-hal berikut”.

Jangan arak-arakan baik di dalam kampus maupun di luar... Jangan menggunakan kendaraan berat... Jangan menutup jalan, mengeluarkan kata-kata kotor, serta berkelahi/tawuran.

Buat mereka yang merayakan wisuda secara baik, tertib, indah, dan kreatif, ada hadiah. Rayakanlah dengan tertib, wajar, dan tidak berlebihan.

Tak lupa, akan ada sanksi bagi mereka yang melanggar.

Surat itu bernomor 321/K01.04/KM/2005 dan bertanggal 4 Maret 2005. Alias, sehari sebelum acara wisuda berlangsung.

***

LANGIT cerah. Matahari bersinar lumayan terik. Siang itu di Sasana Budaya Ganesha, acara wisuda baru saja usai. Di pelataran parkir, manusia berjubel. Ada pedagang kaki lima, tukang foto keliling, dan keluarga mahasiswa yang menunggu para wisudawan keluar.

Puluhan mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain menanti di dekat pintu utama. Dengan mengenakan kostum bebek dan koki, mereka menyambut para wisudawan dari FSRD. Mereka meneriakkan yel-yel dengan iringan genderang. Mereka cukup menyedot perhatian sekeliling.

Saya berdiri di sana. Saya melihat kumpulan mahasiswa Himpunan Mahasiswa Elektroteknik menyambut para wisudawan mereka. Yang laki-laki meloncat ke atas truk. Yang perempuan, dibantu pijakan dari tangan.

Arak-arakan kemudian dimulai. Himpunan Mahasiswa Sipil, Himpunan Mahasiswa Elektroteknik, Keluarga Mahasiswa Penerbangan, adalah sebagian mereka yang terlihat membawa wisudawan mereka menuju Gerbang Ganesha dengan sebuah pemandangan klise: wisudawan bergelantungan di truk bagaikan koboi memberi semangat kepada adik-adik mereka yang berjaket himpunan—yang mengawal dengan barisan di depan.

Dalam antrian kendaraan yang mengular, seorang supir angkutan kota bercerita pada saya, dirinya tak mengapa dengan kemacetan dadakan itu.

“Dimana-mana juga macet kok,” kilahnya.

Suasana jadi mirip karnaval jalanan. Saya heran. Adakah mahasiswa membaca edaran Widyo itu?

***

“ARAK-arakan ini kan udah dipersiapkan dari jauh hari. Kalau dibatalin, mau apa lagi isinya?” komentar Prima, mahasiswa Teknik Industri angkatan 2003.

Anggapan senada saya jumpai pula pada Fitra, seorang mahasiswa Teknik Material. Fitra bercerita, karena edaran datang mendadak, ia tetap tak bisa mengubah apa-apa—semua sudah direncanakan.

***

DUA hari kemudian, pada pukul 12.30 saya datang ke ruangan Widyo Nugroho di Lembaga Pengembangan Kesejahteraan Mahasiswa. Sambil sibuk mencatat sesuatu, ia mempersilakan saya duduk. Di mejanya ada tumpukan kertas dan buku.

“Terimakasih, Anda berminat mengangkat soal edaran ini,” ucapnya.

“Edaran itu tak digubris. Apa komentar Anda?”

Widyo menampik. “Jangan dibilang tak digubris,”

Dari perspektifnya, Widyo melihat dirinya sudah berupaya mencegah budaya arak-arakan, serta tawuran yang “destruktif” tadi. Ia tak bermasalah jika edaran itu bertepuk sebelah tangan.

“Undang Undang Anti Korupsi saja, yang berskala nasional, juga tak digubris,” ia memberi analogi. Yang penting, kata dosen Teknik Geodesi ini, edaran adalah sebuah titik awal pelaksanaan pembenahan. Ia pun tak akan menimpakan sanksi bagi para himpunan yang tidak menghiraukan edarannya. Soalnya, sanksi yang khusus mengurusi soal wisuda itu belum ada.

Ia menilai edaran itu cukup berhasil, karena tak ada tawuran yang terjadi.Widyo berencana mengumpulkan para ketua himpunan untuk mempertanyakan pentingnya merayakan wisuda dengan arak-arakan.

Mengapa tak melakukannya dari dulu, jauh sebelum mengeluarkan edaran?

“Tak ada waktu,” jawab Widyo, tersenyum. []

Thursday, March 03, 2005

Kelas Redaksi 1

Silakan datang ke Boul pada jam 5 sore, hari ini. Akan ada kumpul reguler, setelah itu ada kelas redaksi (workshop lanjutan). Wajib bagi staf redaksi, dianjurkan bagi staf non redaksi.

Pembicara: Yandhrie Arvian, TEMPO.

Terimakasih.

Sunday, February 13, 2005


TELAH BEREDAR!!! BOULEVARD ITB EDISI 51. SEGERA DAPATKAN DI GERBANG GANESHA, DAN SALES TERDEKAT!

Thursday, February 03, 2005

Menyudahi Kekerasan, Bisakah?

Menurut Hatta, bangsa kita adalah bangsa yang kuat sebagai seorang pelaut dan petani. Dengan kata lain, bangsa kita sebenarnya memiliki karakteristik yang kuat untuk menjadi bangsa kuat dan ekspansionis. Namun seberapa besar kita mencintai tanah dan laut kita? Ini pula sebabnya, kenapa bangsa kita selalu menonjolkan kekerasan. Karena, menurut saya, sifat ekspansionis tadi dipojokkan, dihilangkan, dan diredam sejak industrialisasi dan kolim (kolonialisme dan imperialisme) Belanda, hingga Orde Baru. Dan, seperti orang Jawa, orang Indonesia terbentuk oleh sistem untuk menjadi orang yang penyayang, penyabar, dan gotong-royong, dengan memendam rasa ekspansionis itu tadi. Dan energi yang dipendam cukup lama, dapat muncul sewaktu-waktu dengan menggelora dan tidak terkontrol karena tidak pernah tersalurkan pada tempatnya. Kapan bangsa kita bisa sadar, bangkit, dan menyudahi ketertinggalan dan keterbelakangan karena selalu berbicara dengan tangan?

Adi Nugroho

Monday, January 31, 2005

Tiada kesunyataan tanpa pengorbanan, Empirisisme nasibmu kini.

Ketika pengorbanan mengalahkan ego dan kepentingan, maka kenalilah dirimu sendiri dan yakinkan jika itu memang cita-cita. Mengalami erosi dan pasang surut, begitu pula perjalanan kita mengenal spesies manusia lain sebagai mahluk sosial. Dan ketika kita mengenalnya, pergulatan sebuah bentuk komunikasi adalah jembatan yang harus dibangun membentang lintas pasifik. Terjangan badai, ombak dan pusaran arus kadang membuat kita mengalah, untuk mengambil sebuah jenak, beristirahat. Kala persinggungan tiba, dari yang satu dan besar, apakah bentuk hegemoni lalu menganeksasi ego dan kepentingan kita? Maka, ia yang belajar dari sebuah pengalaman, mengalami kesunyataan diri yang abadi. Empirisisme adalah kunci. Dan ego kita adalah pintu yang selalu siap untuk terbuka lebar.

17400029

Tuesday, January 18, 2005

Regenerasi



Bertempat di rumah Kethy (Boulevard 2004, SBM 04), di bilangan Bandung Utara, Boulevard ITB telah melakukan proses regenerasi. Tampak di sebelah kiri, Zaki Akhmad(Boulevard 2001, Elektro 2001) berjabat tangan dengan penggantinya sebagai Pemimpin Umum, Aji GPS (Boulevard 2003, Elektro 2003). Sebagai bentuk simbolis diserahkan dari Zaki kepada Aji satu bundel terbitan Boulevard Edisi 40-50 dalam map merah. Tampak di belakang (dari kiri ke kanan) Luthfi, Upi, Kethy, Ika, Batari (tertutup Zaki), Ani (berkerudung), Yasmin, Ikram, Dayeng, Dito, Rani, dan Maya.

Monday, January 17, 2005

Memulai Sesuatu Untuk Orang

Menyadari bahwa kemahasiswaan adalah wadah untuk mengabdi pada masyarakat, dan mahasiswa sebagai pengabdi masyarakatnya, blog ini merupakan permulaan dari bentuk pengabdian masyarakat dari pemikiran-pemikiran Boulevard.
Ide-ide yang murni tanpa batas, pandangan kami terhadap masalah apapun, inilah tempat kami tumpahkan itu semua.

-PU Boulevard 2005-

Aji GPS