Oleh Batari Saraswati dan Floresiana Yasmin Indriasti
Boulevard ITB
Masih ingat adegan dari film Arisan yang diputar beberapa waktu lalu di bioskop? Di akhir cerita, salah satu tokoh utama yang diperankan oleh Tora Sudiro memperkenalkan diri:
“Saya, Sakti. I am gay.”
Jangan kaget jika suatu hari kamu berkenalan dengan tokoh serupa Sakti di kampus ITB.
Soni, bukan nama sebenarnya, adalah seorang mahasiswa ITB. Laki-laki yang terkesan kalem ini mengaku pertama kali menyadari penyimpangan orientasi seksualnya sejak kelas 6 SD. Tak seperti layaknya laki-laki pada umumnya, Soni merasa lebih tertarik pada sesamanya. Bahkan dia mengaku, “SMP kelas 3 gue udah ngga bernafsu ngeliat cewek.”
Soni, lulusan salah satu SMA ternama di Jakarta, baru mulai berani membuka diri saat kuliah. “Gue udah tau di ITB banyak. Gue masuk ITB alasannya itu,” ujarnya sambil tertawa. Gay ITB berkumpul dan melahirkan semacam komunitas. Terhitung sejak awal tahun ini, sudah empat kali mereka mengadakan gathering, dan tempatnya di luar kampus.
“Sebelumnya ada gathering se-Bandung, tapi anak-anak ITB cenderung lebih ke dalam,” lanjutnya. Alasannya, menurut Soni, ada beberapa teman yang beranggapan komunitas gay di luar ITB sudah tidak jelas ’main’nya ke mana. “Padahal nggak juga,” ujarnya.
Tak hanya mahasiswa ITB yang datang ke acara gathering, alumni angkatan ’70 pun pernah hadir di sana. “Salah satu pengamat ekonomi lah...,” tandas Soni yang mengaku lupa nama dari alumni tersebut.
Di kesempatan lain kami bertemu dengan teman Soni. Sebut saja, Anton. Dia pun cukup aktif terlibat dalam komunitas gay ITB.
“Gak ada official leadernya. Cuman, ada orang yang dipercaya untuk ngadain gathering, namanya host,” begitu penjelasan Anton ketika ditanya ’cara kerja’ komunitas ini. Host berganti setiap kali gathering. Anton sendiri pernah menjadi host salah satu gathering yang diadakan pada pertengahan Januari lalu di salah satu kafe di daerah Cibeunying.
Sempat beredar isu bahwa komunitas ini ingin mengukuhkan diri sebagai unit. Bahkan, terdengar kabar bahwa proposal pendirian unit itu sudah sampai ke Lembaga Kemahasiswaan. “Iya, gua pernah dengar tuh. Tapi mau ngapain juga dibikin unit. Kegiatannya apa?” komentar Anton, sangsi.
Anton mengaku bahwa banyak orang dari komunitas ini mengganggap ia adalah simbol. Dia memang ‘terbuka’ mengenai orientasi seksualnya pada lingkungan sekitar, dan merasa nyaman. Dia bahkan aktif di himpunan dan sempat memegang jabatan struktural. “Tidak ada perlakuan diskriminatif,” ujarnya. Tapi ada beberapa orang yang tidak setuju dan memilih tidak berinteraksi lagi dengan Anton. “Sedikit, hitunglah dari seribu orang, satu yang begitu,” ungkapnya.
“Gay di ITB itu beda sama gay di luar. Mereka lebih jaim. Ada yang kalau ketemu gua, pura-pura gak kenal,” komentar Anton soal teman-teman gay di ITB.
Hal ini dibenarkan pula oleh Andi, salah seorang gay lain yang kami temui. “Anak luar ITB lebih open minded, anak ITB lebih suka sendiri-sendiri.”
Dari kebiasaan yang terkesan individual itu, tercetus lah ide gathering. Sekedar untuk saling mengenal dan have fun, demikian alasan yang diungkapkan Andi yang merasa lebih sreg menggunakan kata ’arisan’ ketimbang ’komunitas’ untuk merujuk pada perkumpulan kaum gay di ITB. ”Acaranya biasanya tuh cuma kenalan, terus ada games, ngobrol-ngobrol. Ya gitu-gitu aja...,” imbuhnya.
Tak hanya bercerita tentang gathering, Andi pun bersedia berbagi pengalamannya. “Menjadi gay itu ada fasenya. Pertama denial, di fase ini yang menentukan nantinya gimana. Ini fase yang susaaah banget. Masa denial gue 5 tahun. Kedua, acceptance. Di sini udah mulai curious dan cari informasi,” jelas Andi.
Bagi Andi, menjadi gay itu adalah pilihan. "Hidup itu pilihan, gue pengen kayak gini," ujarnya. "Gue milih ini karena gue udah siap. Kebanyakan orang suka let it flow dan tahu-tahu mereka stuck, ’kok gue udah sejauh ini ya?’”
Dia pun sudah memantapkan hatinya untuk tidak akan menyukai lawan jenis, sekalipun ia pernah merasakan pacaran ‘normal’ semasa SMA. Bukan karena perempuan tidak menarik. “Buat gue cewek hanya untuk dikagumi,” ujarnya tersenyum.
Bagaimana dengan lesbian? Arin, bukan nama sebenarnya, juga mahasiswa ITB. Sekilas, tidak ada yang berbeda pada Arin, hanya sikapnya yang sedikit tomboy. Dia mengaku sudah mulai merasakan suka pada perempuan sejak ia duduk di bangku SD.
“Gua bi (biseks-red),” akunya. Beberapa waktu lalu ia bertunangan dengan pacarnya, seorang laki-laki. Namun saat ini sudah tidak lagi. “Gua sayangnya sama cewek, ya udah....”
Bagaimana Arin membedakan perasaan sayang ini, sebagai sekedar perasaan terhadap teman atau pacar? “Ya gua deg-degan. Kan gak lucu kalo deg-degan sama temen.” Baginya, perempuan yang menarik adalah perempuan berambut panjang, berkulit putih, dan juga pintar.
Untuk mendeteksi seseorang homoseksual atau tidak, baik Arin, Soni, Anton maupun Andi, sepakat bahwa kaum homoseksual umumnya dianugerahi gaydar.
Soni mengatakan kaum lesbian umumnya lebih tertutup, namun Arin mengaku, ia dan beberapa teman lesbian lainnya sering ikut berkumpul saat gathering kaum gay dilakukan. Membandingkan komunitas homoseksual di luar dan dalam ITB, Arin berkomentar, “Anak luar lebih ngumpul hedon yang keterlaluan. Kuliah keteteran. Anak ITB nggak, masih terkontrol, masih punya otak.”
“Apa sih gunanya orientasi seksual? Gua pikir yang lebih ngaruh itu apa yang lo lakuin. Percuma aja kalo lo lurus kalau hidup lo bejat dan gak pernah melakukan apa pun untuk orang lain. That doesn’t mean anything,” ujar Arin.
Tentu saja, mereka bukannya tidak menyadari perilaku mereka dapat menuai tantangan dari berbagai pihak. Rendy Saputra (TM’04), Sekretaris Jendral Keluarga Mahasiswa Islam yang juga Anggota Majelis Syuro’, berkomentar, ”Pertama, mereka (kaum gay-red) tidak bisa memberikan keturunan. Kedua, itu ’barang’ tidak dimasukkan ke tempat yang benar, kan.” Ketakutan Rendy ialah lahirnya pelabelan sosial jika sampai komunitas gay ini mendeklarasikan diri dan diterima oleh ITB. “‘ITB saja, universitas yang intelektual dan pemikiran rasional punya keberterimaan kepada komunitas ini’. Berarti Indonesia nggak cerdas, dong.”
Rendy lebih lanjut berkata, “Anda (gay–red) bukan musuh. Anda bukan untuk dikucilkan. Tapi Anda ini sakit dan harus diobati.”
Tapi bagi Anton, tidak ada istilah sakit dalam komunitas mereka. “Cuma gara-gara jumlahnya sedikit aja kok,” ujarnya. “Gua gak suka gua ditanyain ‘kapan sembuh?’ Sembuh dari apa?” []
------
Boulevard ITB Edisi 57
Tuesday, June 12, 2007
Kata Mereka Tentang Kita
Oleh Muhammad Arfah D
Boulevard ITB
Saya mendorong keras gerbang besar Gedung Pastoral Keuskupan, menyapa resepsionis, dan menaiki tangga menuju Bale Pustaka. Hari itu, tiga buku mesti saya kembalikan. Saat pustakawan melayaniku dengan senyum sinis, ada sapaan terdengar dibalikku. “Eh, anak ITB mainnya ampe Bale ya ternyata, bukannya rektor kalian nyuruh untuk belajar di kampus, hehehe.” Saya hanya beri senyum sebagai balasan.
Dua kawan komunitas sastra, yang berasal dari latar pendidikan bukan ITB, saya ajak untuk melihat Deddy Mizwar di acara LFM, Naga Bonar Nyasar ke ITB, Minggu, 29 April lalu. LFM yang bekerjasama dengan KM ITB saat itu menayangkan kabar rencana OSKM 2007. Di salah satu tampilannya, ada kata ‘Cuma nonton kok! Gak akan di-DO’. “ITB banget!” timpal salah seorang kawan. Dan lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum.
Begitulah. Dua perspektif di atas jelas menunjukkan bagaimana mahasiswa ITB di kacamata mereka. Kita, setidaknya menurut dua orang kawan luar ITB, seolah berada pada kondisi yang ‘terpenjara’. Beban kuliah yang berat, pengetatan gerak organisasi oleh rektorat, ketakutan pada akademis. Kecintaan ilmu keteknikan yang terlampau besar pun menjadikan kita seolah tak punya ilmu lain. “Mayoritas mahasiswa ITB tuh kaku, dan banyak yang nganggur, karena terlalu idealis ma ilmunya,” komentar Yulianti Eka Sasmita, mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI angkatan 2004. Sebagian besar dari kita melakukan ini demi meningkatkan nilai ekonomis diri dan keluarga. Tentu banyak yang menginginkan beasiswa, kerja di perusahaan besar, dan menjadi sukses, tanpa memperhatikan proses intektualitas yang dilalui semasa kuliah.
Yasraf Amir Piliang, dosen Pasca Sarjana Desain Produk ITB, berkata, “Saat ini, sebagian besar mahasiswa, termasuk mahasiswa ITB, melihat kederajatannya lewat nilai ekonomis, dan nilai intelektualitas berada pada posisi terendah.” Kita bisa berkaca dengan cermin yang sederhana. Ada tugas menulis essai agama, sebagian besar dari kita malas mencoba jalan yang ‘sulit’. Tinggal masuk di dunia maya, mencomot beberapa artikel, lalu menggabungkannya jadi satu. Parahnya lagi, essai itu disahkan sebagai karya pribadi.
Apa ini disebabkan ketidakketerbukaan pikiran mahasiswa ITB terhadap hal lain? Komunitas sastra, teater, diskusi filsafat, di seantaro kota Bandung memang jarang memperlihatkan wajah-wajah ITB. Ilmu di luar keteknikan seperti menjadi ‘aneh’ jika dibicarakan oleh kita. Maka saat ilmu tersebut dihadapkan, kita angkat tangan dan memilih cara pragmatis untuk menghadapinya.
Terjadi transformasi perilaku mahasiswa lampau dengan mahasiswa kini. Mahasiswa lampau yang peduli dengan dunia luarnya, mahasiswa kini yang terkesan hanya peduli dengan dirinya. Fenomena ini terjadi setelah pemerintahan Soeharto mengeluarkan Normalisasi Kehidupan Kampus.
“Mahasiswa ITB tuh dikebiri. Mahasiswa ITB menjadi korban dari sebuah sistem. Siapa yang mau kuliah lama dengan spp yang sebegitu besarnya?” ungkap Sang Denai, mantan mahasiswa Universitas Islam Bandung. Setelah normalisasi era Orde Baru, sistem bermain untuk mengarahkan mahasiswa hanya pada belajar keakademisan. Entah mengapa, sistem ini berlanjut pada era reformasi, bahkan pada tingkat ‘mengkhawatirkan’.
Keaktifan kita di luar kampus jelas dibutuhkan. Melihat kondisi luar sebagai pemetaan pikiran menjadi lebih terbuka. Soal sistem yang mengebiri, kita harap generasi tua bisa mengerti kehausan kita pada dunia. []
------
Boulevard ITB Edisi 57
Boulevard ITB
Saya mendorong keras gerbang besar Gedung Pastoral Keuskupan, menyapa resepsionis, dan menaiki tangga menuju Bale Pustaka. Hari itu, tiga buku mesti saya kembalikan. Saat pustakawan melayaniku dengan senyum sinis, ada sapaan terdengar dibalikku. “Eh, anak ITB mainnya ampe Bale ya ternyata, bukannya rektor kalian nyuruh untuk belajar di kampus, hehehe.” Saya hanya beri senyum sebagai balasan.
Dua kawan komunitas sastra, yang berasal dari latar pendidikan bukan ITB, saya ajak untuk melihat Deddy Mizwar di acara LFM, Naga Bonar Nyasar ke ITB, Minggu, 29 April lalu. LFM yang bekerjasama dengan KM ITB saat itu menayangkan kabar rencana OSKM 2007. Di salah satu tampilannya, ada kata ‘Cuma nonton kok! Gak akan di-DO’. “ITB banget!” timpal salah seorang kawan. Dan lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum.
Begitulah. Dua perspektif di atas jelas menunjukkan bagaimana mahasiswa ITB di kacamata mereka. Kita, setidaknya menurut dua orang kawan luar ITB, seolah berada pada kondisi yang ‘terpenjara’. Beban kuliah yang berat, pengetatan gerak organisasi oleh rektorat, ketakutan pada akademis. Kecintaan ilmu keteknikan yang terlampau besar pun menjadikan kita seolah tak punya ilmu lain. “Mayoritas mahasiswa ITB tuh kaku, dan banyak yang nganggur, karena terlalu idealis ma ilmunya,” komentar Yulianti Eka Sasmita, mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI angkatan 2004. Sebagian besar dari kita melakukan ini demi meningkatkan nilai ekonomis diri dan keluarga. Tentu banyak yang menginginkan beasiswa, kerja di perusahaan besar, dan menjadi sukses, tanpa memperhatikan proses intektualitas yang dilalui semasa kuliah.
Yasraf Amir Piliang, dosen Pasca Sarjana Desain Produk ITB, berkata, “Saat ini, sebagian besar mahasiswa, termasuk mahasiswa ITB, melihat kederajatannya lewat nilai ekonomis, dan nilai intelektualitas berada pada posisi terendah.” Kita bisa berkaca dengan cermin yang sederhana. Ada tugas menulis essai agama, sebagian besar dari kita malas mencoba jalan yang ‘sulit’. Tinggal masuk di dunia maya, mencomot beberapa artikel, lalu menggabungkannya jadi satu. Parahnya lagi, essai itu disahkan sebagai karya pribadi.
Apa ini disebabkan ketidakketerbukaan pikiran mahasiswa ITB terhadap hal lain? Komunitas sastra, teater, diskusi filsafat, di seantaro kota Bandung memang jarang memperlihatkan wajah-wajah ITB. Ilmu di luar keteknikan seperti menjadi ‘aneh’ jika dibicarakan oleh kita. Maka saat ilmu tersebut dihadapkan, kita angkat tangan dan memilih cara pragmatis untuk menghadapinya.
Terjadi transformasi perilaku mahasiswa lampau dengan mahasiswa kini. Mahasiswa lampau yang peduli dengan dunia luarnya, mahasiswa kini yang terkesan hanya peduli dengan dirinya. Fenomena ini terjadi setelah pemerintahan Soeharto mengeluarkan Normalisasi Kehidupan Kampus.
“Mahasiswa ITB tuh dikebiri. Mahasiswa ITB menjadi korban dari sebuah sistem. Siapa yang mau kuliah lama dengan spp yang sebegitu besarnya?” ungkap Sang Denai, mantan mahasiswa Universitas Islam Bandung. Setelah normalisasi era Orde Baru, sistem bermain untuk mengarahkan mahasiswa hanya pada belajar keakademisan. Entah mengapa, sistem ini berlanjut pada era reformasi, bahkan pada tingkat ‘mengkhawatirkan’.
Keaktifan kita di luar kampus jelas dibutuhkan. Melihat kondisi luar sebagai pemetaan pikiran menjadi lebih terbuka. Soal sistem yang mengebiri, kita harap generasi tua bisa mengerti kehausan kita pada dunia. []
------
Boulevard ITB Edisi 57
"Bapakmu ITB?"
Ketika mahasiswa tak lagi punya mimpi
Oleh Fadilla Tourizqua Zain dan M Arfah D
Boulevard ITB
Seorang alumni Teknik Sipil angkatan '86 menangis. Dia khawatir orang tuanya di Solo tidak makan layak beberapa hari. Sebab uang hasil narik becak bapaknya ditukar dengan sebuah kalkulator.
Bagi mereka yang datang dari berbagai pelosok Indonesia, merantau jadi bukan kata asing lagi. Mereka membawa mimpi dari tempat asal mereka. Keluarga tentu punya harapan besar bahwa anak mereka akan meraih sukses di kampus gajah ini.
Itu dulu. Sekarang, fenomena yang terjadi berbeda. Tidak sedikit mahasiswa ITB yang menyandang status generasi kedua. Alias orang tuanya lulusan ITB. Mereka mau tidak mau dititipi mimpi oleh orang tua mereka. Si generasi pertama. “Secara nggak langsung, yaa emang bokap gue ngarahin gue untuk masuk ITB,” aku Gita Prima Ramadhanti (TL ’04). Orangtuanya adalah alumni ITB angkatan 1978.
Senada seperti yang diakui Gita, temannya, Dyah Wulandari Putri (TL ’04) juga bercerita. “Dari kecil, Ibu bilang untuk mengikuti jalur SMP 5, SMA 3, lalu ITB,” ungkapnya. Wulan, begitu ia akrab disapa, bukan mahasiswa perantau. Dia besar di Bandung. Kedua orang tua Wulan juga jebolan ITB. Ibunya, Endang Juliastuti (ITB’78), kini berprofesi sebagai dosen di Program Studi Fisika Teknik ITB.
Baik Gita maupun Wulan punya keinginan tersendiri sebelum akhirnya kejeblos di ITB. “Dari kelas 2 SMA, waktu gue mau penjurusan. Sebenernya gue pengen masuk IPS, karena gue mau masuk Komunikasi,” kata Gita. Namun keduanya juga bersyukur dengan keadaan mereka sekarang. “Aku emang bukan tipe yang kreatif, yaa ikut aja apa yang dibilang ibu,” kata Wulan. “Kalau gue nggak di sini, mungkin gue udah terdampar di universitas swasta jakarta entah apa, hahaha...,” timpal Gita.
Lain lagi dengan Yuki Hastarina (FA ’02). Dia kini sedang menjalani Tugas Akhir, tapi masih mengutuki diri yang rela masuk jurusan yang tidak diminatinya itu. “Sejak SMA, almarhum bokap gue menyuruh gue masuk ITB. Bukan menyarankan, benar-benar nyuruh. Bahkan waktu mendekati SPMB dia spesifik nyebut satu jurusan. Farmasi.”
Almarhum ayah Yuki adalah lulusan Kimia. ”Waktu itu ayah bilang, kalau masuk Farmasi mungkin saya bisa bantu-bantu di proyeknya.” Yuki sendiri sebenarnya berkeinginan kuliah di Psikologi Unpad. Kalau dipikir, Farmasi ITB dan Psikologi Unpad sedikit banyak kan berhubungan dengan medis, “Gue suka belajar tentang manusia. Tapi bukan tentang anatominya. Gue lebih tertarik dengan sisi psikisnya.” Namun ayahnya saat itu tak kunjung menghiraukan keinginan Yuki. “Bokap emang mendidik anak-anaknya dengan keras. Keinginan gue sepertinya jadi angin lalu aja. Hidup gue seakan-akan tuh dia yang garisin.”
Sadar dengan keadaan, Yuki mencoba melihat-lihat jurusan apa di ITB yang kira-kira cocok untuknya. Tapi Yuki tidak menemukannya. Akhirnya ia pasrah. Kode jurusan Farmasi dan Biologi ITB ia lingkari di formulir SPMB. Keduanya pilihan sang ayah.
Perasaan ‘salah jurusan’ mulai ia rasakan saat lepas dari TPB. Dia sempat cuti kuliah pada semester 6. Inilah titik jenuhnya. Semua rasa bercampur; jenuh dengan kuliah yang tidak ia senangi, kehilangan ayah, dan harus bekerja. “Tapi ada sedikit rasa lega dalam hati saat itu. Satu tekanan hilang.” ungkapnya.
Gita, Wulan, dan Yuki. Bukan berarti mereka tak bisa mengembangkan minat mereka. ”Gue pernah waktu itu memintal. Dan gue nunjukin hasil pintalan ke bokap gue. Trus tau nggak bokap bue bilang apa, ’Masa udah papa sekolahin jauh-jauh ternyata hasilnya jadi tukang jahit?’, hahahaha..., ” cerita Gita. Cita-cita Gita sebenarnya sederhana. ”Gue pengen jadi ibu rumah tangga yang baik. Nggak mau kerja kalo bisa.” Tapi baginya itu hanya sekedar cita-cita. Dia harus tetap bekerja seperti lulusan kebanyakan. Dia dan Wulan ingin kerja di perusahaan industri. Yuki juga menikmati perannya. Dia bersama temannya mendirikan usaha. Yuki kebagian bidang keuangan. ”Gue sadar gue bagus di angka-angka, dan gue menikmati banget.”
Coba sekilas kita menikmati keromantisan masa lalu. Nur Rahman As’ad lulusan Teknik Mesin angkatan 1990, yang kini berprofesi sebagai Dosen Teknik Industri di Universitas Islam Bandung, bercerita betapa kebersamaan begitu kental. ”Dulu saya tinggal di asrama Kebon Sirih, tempat kami dari Sulawesi Selatan berkumpul, pulang ke kampung halaman bersama, balik ke Bandung pun bersama.” Di tahun 90-an, saat lapangan sepakbola, basket, dan tenis masih berada di tengah kampus, sore sehabis ujian hari Rabu, mahasiswa TPB berkumpul di sana. Tiap sore daerah Student Center (SC), begitu nama Campus Center dahulu, dipenuhi dengan suara gamelan, gendang, teriakan-teriakan mahasiswa yang sedang berolahraga, segala UKM berkumpul dan berkegiatan. Loedroek dan LFM menjadi salah satu hiburan rutin dan murah bagi mahasiswa.
Jika membandingkan dengan zamannya, Nur Rahman tentu melihat perbedaan besar. ”Daya juangnya beda, mungkin karena mahasiswa sekarang lahir di keluarga mapan. Jika saya pulang dari kerja lewat jalan Ganesha, saya lihat tumpukan motor dan mobil di parkiran depan.” Lebih lanjut ia bercerita, bahwa mahasiswa dulu punya keinginan besar dan punya alasan kuat untuk masuk ITB. ”Kami datang dari jauh, hidup dengan uang kiriman seadanya. Dulu ada kantin Tubagus di lokasi pembangunan ruko, depan MCCF di Tubagus dekat Simpang. Pernah satu akhir bulan, ada seorang kawan ngambil lauk lebih dulu, baru ngambil nasi buat nutupin lauknya. Hahaha.”
Kuliah selalu diisisipi dengan pewacanaan sosial atau politik. ”Mungkin karena dulu banyak dosen muda,” ungkap Nur Rahman. Tak heran, saat bendera himpunan atau sebuah organisasi dikibarkan oleh seseorang di depan gerbang, secara spontan mahasiswa berkumpul dan berorasi. Berbeda dengan mahasiswa sekarang. Apa mungkin beban kuliah yang semakin besar? ”Tugas kuliah, sama beratnya saya pikir. Bahkan kami dulu tak pernah dibiarkan mapan dalam belajar. Tapi untuk batas waktu menjadi mahasiswa. Itu memang!” lanjutnya.
Sekarang, begitu banyak yang berubah. Terlepas dari zaman yang berbeda, tentu ada indikasi generasi kedua menjadikan mahasiswa sekarang tidak sama dengan mahasiswa dulu. Tak punya mimpi, berimbas pada daya juang yang semakin menipis. []
------
Boulevard ITB Edisi 57
Oleh Fadilla Tourizqua Zain dan M Arfah D
Boulevard ITB
Seorang alumni Teknik Sipil angkatan '86 menangis. Dia khawatir orang tuanya di Solo tidak makan layak beberapa hari. Sebab uang hasil narik becak bapaknya ditukar dengan sebuah kalkulator.
Bagi mereka yang datang dari berbagai pelosok Indonesia, merantau jadi bukan kata asing lagi. Mereka membawa mimpi dari tempat asal mereka. Keluarga tentu punya harapan besar bahwa anak mereka akan meraih sukses di kampus gajah ini.
Itu dulu. Sekarang, fenomena yang terjadi berbeda. Tidak sedikit mahasiswa ITB yang menyandang status generasi kedua. Alias orang tuanya lulusan ITB. Mereka mau tidak mau dititipi mimpi oleh orang tua mereka. Si generasi pertama. “Secara nggak langsung, yaa emang bokap gue ngarahin gue untuk masuk ITB,” aku Gita Prima Ramadhanti (TL ’04). Orangtuanya adalah alumni ITB angkatan 1978.
Senada seperti yang diakui Gita, temannya, Dyah Wulandari Putri (TL ’04) juga bercerita. “Dari kecil, Ibu bilang untuk mengikuti jalur SMP 5, SMA 3, lalu ITB,” ungkapnya. Wulan, begitu ia akrab disapa, bukan mahasiswa perantau. Dia besar di Bandung. Kedua orang tua Wulan juga jebolan ITB. Ibunya, Endang Juliastuti (ITB’78), kini berprofesi sebagai dosen di Program Studi Fisika Teknik ITB.
Baik Gita maupun Wulan punya keinginan tersendiri sebelum akhirnya kejeblos di ITB. “Dari kelas 2 SMA, waktu gue mau penjurusan. Sebenernya gue pengen masuk IPS, karena gue mau masuk Komunikasi,” kata Gita. Namun keduanya juga bersyukur dengan keadaan mereka sekarang. “Aku emang bukan tipe yang kreatif, yaa ikut aja apa yang dibilang ibu,” kata Wulan. “Kalau gue nggak di sini, mungkin gue udah terdampar di universitas swasta jakarta entah apa, hahaha...,” timpal Gita.
Lain lagi dengan Yuki Hastarina (FA ’02). Dia kini sedang menjalani Tugas Akhir, tapi masih mengutuki diri yang rela masuk jurusan yang tidak diminatinya itu. “Sejak SMA, almarhum bokap gue menyuruh gue masuk ITB. Bukan menyarankan, benar-benar nyuruh. Bahkan waktu mendekati SPMB dia spesifik nyebut satu jurusan. Farmasi.”
Almarhum ayah Yuki adalah lulusan Kimia. ”Waktu itu ayah bilang, kalau masuk Farmasi mungkin saya bisa bantu-bantu di proyeknya.” Yuki sendiri sebenarnya berkeinginan kuliah di Psikologi Unpad. Kalau dipikir, Farmasi ITB dan Psikologi Unpad sedikit banyak kan berhubungan dengan medis, “Gue suka belajar tentang manusia. Tapi bukan tentang anatominya. Gue lebih tertarik dengan sisi psikisnya.” Namun ayahnya saat itu tak kunjung menghiraukan keinginan Yuki. “Bokap emang mendidik anak-anaknya dengan keras. Keinginan gue sepertinya jadi angin lalu aja. Hidup gue seakan-akan tuh dia yang garisin.”
Sadar dengan keadaan, Yuki mencoba melihat-lihat jurusan apa di ITB yang kira-kira cocok untuknya. Tapi Yuki tidak menemukannya. Akhirnya ia pasrah. Kode jurusan Farmasi dan Biologi ITB ia lingkari di formulir SPMB. Keduanya pilihan sang ayah.
Perasaan ‘salah jurusan’ mulai ia rasakan saat lepas dari TPB. Dia sempat cuti kuliah pada semester 6. Inilah titik jenuhnya. Semua rasa bercampur; jenuh dengan kuliah yang tidak ia senangi, kehilangan ayah, dan harus bekerja. “Tapi ada sedikit rasa lega dalam hati saat itu. Satu tekanan hilang.” ungkapnya.
Gita, Wulan, dan Yuki. Bukan berarti mereka tak bisa mengembangkan minat mereka. ”Gue pernah waktu itu memintal. Dan gue nunjukin hasil pintalan ke bokap gue. Trus tau nggak bokap bue bilang apa, ’Masa udah papa sekolahin jauh-jauh ternyata hasilnya jadi tukang jahit?’, hahahaha..., ” cerita Gita. Cita-cita Gita sebenarnya sederhana. ”Gue pengen jadi ibu rumah tangga yang baik. Nggak mau kerja kalo bisa.” Tapi baginya itu hanya sekedar cita-cita. Dia harus tetap bekerja seperti lulusan kebanyakan. Dia dan Wulan ingin kerja di perusahaan industri. Yuki juga menikmati perannya. Dia bersama temannya mendirikan usaha. Yuki kebagian bidang keuangan. ”Gue sadar gue bagus di angka-angka, dan gue menikmati banget.”
Coba sekilas kita menikmati keromantisan masa lalu. Nur Rahman As’ad lulusan Teknik Mesin angkatan 1990, yang kini berprofesi sebagai Dosen Teknik Industri di Universitas Islam Bandung, bercerita betapa kebersamaan begitu kental. ”Dulu saya tinggal di asrama Kebon Sirih, tempat kami dari Sulawesi Selatan berkumpul, pulang ke kampung halaman bersama, balik ke Bandung pun bersama.” Di tahun 90-an, saat lapangan sepakbola, basket, dan tenis masih berada di tengah kampus, sore sehabis ujian hari Rabu, mahasiswa TPB berkumpul di sana. Tiap sore daerah Student Center (SC), begitu nama Campus Center dahulu, dipenuhi dengan suara gamelan, gendang, teriakan-teriakan mahasiswa yang sedang berolahraga, segala UKM berkumpul dan berkegiatan. Loedroek dan LFM menjadi salah satu hiburan rutin dan murah bagi mahasiswa.
Jika membandingkan dengan zamannya, Nur Rahman tentu melihat perbedaan besar. ”Daya juangnya beda, mungkin karena mahasiswa sekarang lahir di keluarga mapan. Jika saya pulang dari kerja lewat jalan Ganesha, saya lihat tumpukan motor dan mobil di parkiran depan.” Lebih lanjut ia bercerita, bahwa mahasiswa dulu punya keinginan besar dan punya alasan kuat untuk masuk ITB. ”Kami datang dari jauh, hidup dengan uang kiriman seadanya. Dulu ada kantin Tubagus di lokasi pembangunan ruko, depan MCCF di Tubagus dekat Simpang. Pernah satu akhir bulan, ada seorang kawan ngambil lauk lebih dulu, baru ngambil nasi buat nutupin lauknya. Hahaha.”
Kuliah selalu diisisipi dengan pewacanaan sosial atau politik. ”Mungkin karena dulu banyak dosen muda,” ungkap Nur Rahman. Tak heran, saat bendera himpunan atau sebuah organisasi dikibarkan oleh seseorang di depan gerbang, secara spontan mahasiswa berkumpul dan berorasi. Berbeda dengan mahasiswa sekarang. Apa mungkin beban kuliah yang semakin besar? ”Tugas kuliah, sama beratnya saya pikir. Bahkan kami dulu tak pernah dibiarkan mapan dalam belajar. Tapi untuk batas waktu menjadi mahasiswa. Itu memang!” lanjutnya.
Sekarang, begitu banyak yang berubah. Terlepas dari zaman yang berbeda, tentu ada indikasi generasi kedua menjadikan mahasiswa sekarang tidak sama dengan mahasiswa dulu. Tak punya mimpi, berimbas pada daya juang yang semakin menipis. []
------
Boulevard ITB Edisi 57
Banalitas Budaya Kampus
Oleh Yasraf Amir Piliang
Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK)
Fakutas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung
Wajah kebudayaan bangsa akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan perubahan ke arah kondisi, yang di dalamnya dirayakan aspek-aspek kebudayaan yang bersifat permukaan. Ruang-ruang kebudayaan dipenuhi oleh berbagai pertunjukan, tontonan, tayangan, representasi dan tindakan-tindakan yang mengeksploitasi berbagai bentuk yang bernilai rendah, banal dan dan tak-esensial.
Ruang-ruang budaya politik, ekonomi, hukum, media, hiburan, pendidikan, bahkan agama dipenuhi oleh berbagai strategi populer atau popularisme, yang menggunakan model-model strategi dan psikologi massa budaya populer, dalam rangka mencari popularitas, menghimpun massa, memenangkan pemilihan, mendapatkan pengikut, meningkatkan rating atau mencari keuntungan—popular strategies.
Kecenderungan ke arah strategi populer di dalam kebudayaan bangsa, termasuk budaya kampus, telah menggiring ke arah pendangkalan dan banalitas di dalam budaya politik, hukum, media, pendidikan, bahkan agama. Di dalam banalitas itu, iklan politik tidak dapat dibedakan lagi dari iklan sabun mandi; lembaga pendidikan tidak dapat dibedakan lagi dari agen-agen perjalanan; ceramah agama tidak dapat dibedakan lagi dari pertunjukan musik panggung;
Dengan sifat permukaannya, aktivitas-aktivitas kebudayaan lebih cenderung mengeksploitasi berbagai bentuk histeria massa (mass histeria), yaitu strategi memanipulasi emosi massa, sehingga mencapai kondisi puncak tak terkendali atau ekstasi, yang diperlihatkan dalam berbagai bentuk teriakan, tangisan atau kesedihan massa, baik dalam aktivitas politik, tontonan media, atau ritual keagamaan.
Di dalam ruang kebudayaan berlangsung sebuah proses pembalikan cultural (cultural reversal), yaitu proses ‘pengesensialan yang banal’, dan sebaliknya’ banalisasi yang esensial’. Segala yang tak-esensial—tetapi menghibur, menyenangkan, mempesona, dan menghanyutkan—mendapatkan ruang yang mewah di dalam media-media kebudayaan; sebaliknya, segala yang esensial—yang berguna dalam rangka pembangunan kreativitas bangsa, karakter bangsa (character building) dan pendidikan publik—justru tidak mendapatkan ruang hidupnya—the banality of culture.
***
Theodor Adorno, di dalam The Culture Industry (1991) mengatakan, bahwa kebudayaan yang dibangun mengikuti model-model budaya komoditi (culture industry), termasuk budaya kampus, hanya menghasilkan wujud-wujud kebudayaan yang dangkal, yang di dalamnya lebih dipentingkan daya tarik, keterpesonaan dan ekstasi massa yang bersifat temporer, dengan mengeksploitasi berbagai fetishism, untuk memenuhi hasrat rendah (desire) manusia, di antaranya adalah seks, kekerasan dan mistik.
Kebudayaan dalam format budaya massa cenderung dikendalikan oleh sekelompok elit (produsen, pengusaha, media), yang dalam rangka menarik massa yang luas, menciptakan bentuk-bentuk kebudayaan yang dapat dipahami dengan mudah oleh massa, sehingga ia cenderung bergantung pada bentuk-bentuk kebudayaan yang ringan, enteng, mudah, menghibur, menarik perhatian (eye catching) dan menimbulkan pesona—inilah banalitas kebudayaan.
Banalitas politik (banality of politics) telah menciptakan ruang-ruang publik politik yang dipenuhi oleh segala sesuatu yang bersifat permukaan, dangkal dan populer, yang tidak konstruktif bagi pendidikan publik politik. Berbagai keputusan politik (pilihan politik, kebijakan politik, strategi politik) sangat dibentuk oleh sifat populerisme ini, sehingga menggiring ke arah ‘pengkerdilan politik’, yang kini menggantungkan hidupnya pada citra permukaan dan populerisme tokoh.
Banalitas media (banality of media) telah menciptakan ruang-ruang media yang dipenuhi oleh berbagai fetishism bintang, tubuh, obyek, kekerasan dan mistik, yang motif utamanya adalah menciptakan kepuasan (jouissance) demi keuntungan, bukan pendidikan publik. Berbagai acara tontonan sinetron, kuis, reality show dan mistis menyedot habis-habisan kesadaran massa, yang digiring ke alam histeria, keterpesonaan dan kecanduan, sehingga tidak mempunyai ruang bagi pengembangan diri dan perenungan eksistensi.
Banalitas ekonomi (banality of economy) menciptakan ruang-ruang ekonomi yang dipenuhi oleh berbagai komoditi yang lebih banyak mengeksploitasi nilai tanda (sign value) dan libido (libidinal value), ketimbang nilai guna (use value); mengeksploitasi hasrat ketimbang kebutuhan. Berbagai produk—mobil, hand phone, kamera, pakaian—telah menggiring orang ke dalam ekstasi pergantian penampakan atau gayanya tanpa henti, yang sesungguhnya tidak esensial dibandingkan nilai-nilai gunanya, tapi kini dianggap penting.
Banalitas budaya kampus telah menciptakan lingkungan kampus, yang di dalamnya ruang-ruang kampus tidak ubahnya seperti ‘shop display’, yang di dalamnya mahasiswa lebih senang, di satu pihak, menampilkan gaya pakaian, gaya bicara, gaya handphone, gaya mobil, gaya tongkrongan, sebagai cara untuk menampilkan status, prestise, dan kelas, ketimbang mengejar pengetahuan; di pihak lain, tenggelam dalam mengejar tugas, nilai, dan kelulusan, tetapi tidak punya waktu dan keinginan untuk bersosialisasi dan bergaul di dalam kehidupan nyata (sosial, politik, kultural, spiritual).
Banalitas kampus telah menciptakan ruang-ruang kampus, yang telah berbaur dengan ruang-ruang budaya populer dan gaya hidup. Aktivitas-aktivitas kampus, di satu pihak, kini mengikuti model-model ekspresi budaya populer: kuliah di sebuah cafe, yang menyediakan door prize, studi banding (baca: jalan-jalan) yang disponsori perusahaan; di pihak lain, mengikuti model asylum, di mana mahasiswa dikondisikan hidup di dalam sebuah ruang ‘steril’, yang tidak ada kontak dengan masyarakat umum, dan persoalan sosial nyata.
***
Banalitas budaya kampus menciptakan anak bangsa sebagai manusia yang cenderung ‘hanyut’ di dalam apa-apa yang ditawarkan padanya (tontonan, produk, kesenangan, gaya, gaya hidup), tanpa mampu lagi mengembangkan daya kritis dalam dirinya. Inilah manusia yang digambarkan Baudrillard, In the Shadow of the Silent Majorities (1983), sebagai manusia fatalis, yang tidak berdaya di dalam kekuasaan sistem (obyek, tontonan, media, citra), dan hanyut di dalam logikanya—homo fatalis.
Manusia kampus sebagai manusia fatalis terserap ke dalam berbagai dunia (TV, fashion, komoditi, gaya hidup) yang bersifat permukaan, dan tidak dapat melepaskan diri darinya. Di dalamnya ia menjadi mayoritas yang diam (the silent majorities), yang tak mampu melakukan kritik dan refleksi, yang hanya dapat menyerap segala sesuatu, tanpa mampu menginternalisasikan dan memaknainya.
Manusia kampus adalah manusia penikmat (gaya, pengetahuan, teori), ketimbang pencipta, konsumer ketimbang produser. Budaya kampus yang dibangun oleh manusia fatalis adalah kebudayaan yang tidak produktif, yang hanya menghasilkan ‘budaya konsumerisme’. Inilah anak bangsa yang menghabiskan hidupnya, di satu pihak, untuk mencari nilai, gelar dan kelulusan; di pihak lain kepuasaan, keterpesonaan dan kesenangan, dan tidak punya waktu lagi untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan lainnya: intelektualitas, produktivitas, sosialitas, spiritualitas dan religiusitas.
Manusia fatalis adalah manusia yang sebagian besar ruang-waktunya dihabiskan di dalam banalitas layar (televisi, video game, chating, video), dan terserap ke dalam logika layar tersebut. Ia menerima secara tidak kritis gelombang citra-citra simulasi yang menyerang dirinya dari segala arah, sebagai cara ia memaknai hidupnya. Padahal, semuanya merupakan lukisan palsu tentang dirinya yang sebenarnya (true self), disebakan ia tidak mempunyai lagi daya resistensi dan daya kritis dalam menghadapi dunia banalitas tersebut.
Dalam meneropong arah budaya kampus di masa depan, harus ada upaya-upaya untuk menghentikan dominasi banalitas, popularisme, sifat steril dan asylum budaya kampus. Berbagai upaya untuk menciptakan budaya tanding (counter culture) harus digalang, dalam rangka menciptakan wajah kebudayaan yang lebih produktif, substantif, humanis, dan bermakna, yang di dalamnya manusia tidak lagi menjadi ‘subyek pasif’ kebudayaan, melainkan ‘subyek aktif’, yang mampu secara aktif, dinamis dan kreatif membangun dunia kebudayaannya sendiri.
Untuk itu, di masa depan yang dibutuhkan dalam rangka pembangunan budaya kampus yang lebih humanis, bermakna dan luhur adalah ‘manusia aktivis’, yaitu manusia yang mempunyai daya kritis, daya kreativitas, jiwa kepeloporan, keinginan berprestasi, hasrat inovasi, dan jiwa kosmopolitan, yang secara bersama-sama mampu membangun sebuah masyarakat yang tidak lagi dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar (kapitalisme, globalisasi), tetapi secara kreatif mampu memproduksi kebudayaan sendiri—self producing society.
------
Boulevard ITB Edisi 57
Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK)
Fakutas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung
Wajah kebudayaan bangsa akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan perubahan ke arah kondisi, yang di dalamnya dirayakan aspek-aspek kebudayaan yang bersifat permukaan. Ruang-ruang kebudayaan dipenuhi oleh berbagai pertunjukan, tontonan, tayangan, representasi dan tindakan-tindakan yang mengeksploitasi berbagai bentuk yang bernilai rendah, banal dan dan tak-esensial.
Ruang-ruang budaya politik, ekonomi, hukum, media, hiburan, pendidikan, bahkan agama dipenuhi oleh berbagai strategi populer atau popularisme, yang menggunakan model-model strategi dan psikologi massa budaya populer, dalam rangka mencari popularitas, menghimpun massa, memenangkan pemilihan, mendapatkan pengikut, meningkatkan rating atau mencari keuntungan—popular strategies.
Kecenderungan ke arah strategi populer di dalam kebudayaan bangsa, termasuk budaya kampus, telah menggiring ke arah pendangkalan dan banalitas di dalam budaya politik, hukum, media, pendidikan, bahkan agama. Di dalam banalitas itu, iklan politik tidak dapat dibedakan lagi dari iklan sabun mandi; lembaga pendidikan tidak dapat dibedakan lagi dari agen-agen perjalanan; ceramah agama tidak dapat dibedakan lagi dari pertunjukan musik panggung;
Dengan sifat permukaannya, aktivitas-aktivitas kebudayaan lebih cenderung mengeksploitasi berbagai bentuk histeria massa (mass histeria), yaitu strategi memanipulasi emosi massa, sehingga mencapai kondisi puncak tak terkendali atau ekstasi, yang diperlihatkan dalam berbagai bentuk teriakan, tangisan atau kesedihan massa, baik dalam aktivitas politik, tontonan media, atau ritual keagamaan.
Di dalam ruang kebudayaan berlangsung sebuah proses pembalikan cultural (cultural reversal), yaitu proses ‘pengesensialan yang banal’, dan sebaliknya’ banalisasi yang esensial’. Segala yang tak-esensial—tetapi menghibur, menyenangkan, mempesona, dan menghanyutkan—mendapatkan ruang yang mewah di dalam media-media kebudayaan; sebaliknya, segala yang esensial—yang berguna dalam rangka pembangunan kreativitas bangsa, karakter bangsa (character building) dan pendidikan publik—justru tidak mendapatkan ruang hidupnya—the banality of culture.
***
Theodor Adorno, di dalam The Culture Industry (1991) mengatakan, bahwa kebudayaan yang dibangun mengikuti model-model budaya komoditi (culture industry), termasuk budaya kampus, hanya menghasilkan wujud-wujud kebudayaan yang dangkal, yang di dalamnya lebih dipentingkan daya tarik, keterpesonaan dan ekstasi massa yang bersifat temporer, dengan mengeksploitasi berbagai fetishism, untuk memenuhi hasrat rendah (desire) manusia, di antaranya adalah seks, kekerasan dan mistik.
Kebudayaan dalam format budaya massa cenderung dikendalikan oleh sekelompok elit (produsen, pengusaha, media), yang dalam rangka menarik massa yang luas, menciptakan bentuk-bentuk kebudayaan yang dapat dipahami dengan mudah oleh massa, sehingga ia cenderung bergantung pada bentuk-bentuk kebudayaan yang ringan, enteng, mudah, menghibur, menarik perhatian (eye catching) dan menimbulkan pesona—inilah banalitas kebudayaan.
Banalitas politik (banality of politics) telah menciptakan ruang-ruang publik politik yang dipenuhi oleh segala sesuatu yang bersifat permukaan, dangkal dan populer, yang tidak konstruktif bagi pendidikan publik politik. Berbagai keputusan politik (pilihan politik, kebijakan politik, strategi politik) sangat dibentuk oleh sifat populerisme ini, sehingga menggiring ke arah ‘pengkerdilan politik’, yang kini menggantungkan hidupnya pada citra permukaan dan populerisme tokoh.
Banalitas media (banality of media) telah menciptakan ruang-ruang media yang dipenuhi oleh berbagai fetishism bintang, tubuh, obyek, kekerasan dan mistik, yang motif utamanya adalah menciptakan kepuasan (jouissance) demi keuntungan, bukan pendidikan publik. Berbagai acara tontonan sinetron, kuis, reality show dan mistis menyedot habis-habisan kesadaran massa, yang digiring ke alam histeria, keterpesonaan dan kecanduan, sehingga tidak mempunyai ruang bagi pengembangan diri dan perenungan eksistensi.
Banalitas ekonomi (banality of economy) menciptakan ruang-ruang ekonomi yang dipenuhi oleh berbagai komoditi yang lebih banyak mengeksploitasi nilai tanda (sign value) dan libido (libidinal value), ketimbang nilai guna (use value); mengeksploitasi hasrat ketimbang kebutuhan. Berbagai produk—mobil, hand phone, kamera, pakaian—telah menggiring orang ke dalam ekstasi pergantian penampakan atau gayanya tanpa henti, yang sesungguhnya tidak esensial dibandingkan nilai-nilai gunanya, tapi kini dianggap penting.
Banalitas budaya kampus telah menciptakan lingkungan kampus, yang di dalamnya ruang-ruang kampus tidak ubahnya seperti ‘shop display’, yang di dalamnya mahasiswa lebih senang, di satu pihak, menampilkan gaya pakaian, gaya bicara, gaya handphone, gaya mobil, gaya tongkrongan, sebagai cara untuk menampilkan status, prestise, dan kelas, ketimbang mengejar pengetahuan; di pihak lain, tenggelam dalam mengejar tugas, nilai, dan kelulusan, tetapi tidak punya waktu dan keinginan untuk bersosialisasi dan bergaul di dalam kehidupan nyata (sosial, politik, kultural, spiritual).
Banalitas kampus telah menciptakan ruang-ruang kampus, yang telah berbaur dengan ruang-ruang budaya populer dan gaya hidup. Aktivitas-aktivitas kampus, di satu pihak, kini mengikuti model-model ekspresi budaya populer: kuliah di sebuah cafe, yang menyediakan door prize, studi banding (baca: jalan-jalan) yang disponsori perusahaan; di pihak lain, mengikuti model asylum, di mana mahasiswa dikondisikan hidup di dalam sebuah ruang ‘steril’, yang tidak ada kontak dengan masyarakat umum, dan persoalan sosial nyata.
***
Banalitas budaya kampus menciptakan anak bangsa sebagai manusia yang cenderung ‘hanyut’ di dalam apa-apa yang ditawarkan padanya (tontonan, produk, kesenangan, gaya, gaya hidup), tanpa mampu lagi mengembangkan daya kritis dalam dirinya. Inilah manusia yang digambarkan Baudrillard, In the Shadow of the Silent Majorities (1983), sebagai manusia fatalis, yang tidak berdaya di dalam kekuasaan sistem (obyek, tontonan, media, citra), dan hanyut di dalam logikanya—homo fatalis.
Manusia kampus sebagai manusia fatalis terserap ke dalam berbagai dunia (TV, fashion, komoditi, gaya hidup) yang bersifat permukaan, dan tidak dapat melepaskan diri darinya. Di dalamnya ia menjadi mayoritas yang diam (the silent majorities), yang tak mampu melakukan kritik dan refleksi, yang hanya dapat menyerap segala sesuatu, tanpa mampu menginternalisasikan dan memaknainya.
Manusia kampus adalah manusia penikmat (gaya, pengetahuan, teori), ketimbang pencipta, konsumer ketimbang produser. Budaya kampus yang dibangun oleh manusia fatalis adalah kebudayaan yang tidak produktif, yang hanya menghasilkan ‘budaya konsumerisme’. Inilah anak bangsa yang menghabiskan hidupnya, di satu pihak, untuk mencari nilai, gelar dan kelulusan; di pihak lain kepuasaan, keterpesonaan dan kesenangan, dan tidak punya waktu lagi untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan lainnya: intelektualitas, produktivitas, sosialitas, spiritualitas dan religiusitas.
Manusia fatalis adalah manusia yang sebagian besar ruang-waktunya dihabiskan di dalam banalitas layar (televisi, video game, chating, video), dan terserap ke dalam logika layar tersebut. Ia menerima secara tidak kritis gelombang citra-citra simulasi yang menyerang dirinya dari segala arah, sebagai cara ia memaknai hidupnya. Padahal, semuanya merupakan lukisan palsu tentang dirinya yang sebenarnya (true self), disebakan ia tidak mempunyai lagi daya resistensi dan daya kritis dalam menghadapi dunia banalitas tersebut.
Dalam meneropong arah budaya kampus di masa depan, harus ada upaya-upaya untuk menghentikan dominasi banalitas, popularisme, sifat steril dan asylum budaya kampus. Berbagai upaya untuk menciptakan budaya tanding (counter culture) harus digalang, dalam rangka menciptakan wajah kebudayaan yang lebih produktif, substantif, humanis, dan bermakna, yang di dalamnya manusia tidak lagi menjadi ‘subyek pasif’ kebudayaan, melainkan ‘subyek aktif’, yang mampu secara aktif, dinamis dan kreatif membangun dunia kebudayaannya sendiri.
Untuk itu, di masa depan yang dibutuhkan dalam rangka pembangunan budaya kampus yang lebih humanis, bermakna dan luhur adalah ‘manusia aktivis’, yaitu manusia yang mempunyai daya kritis, daya kreativitas, jiwa kepeloporan, keinginan berprestasi, hasrat inovasi, dan jiwa kosmopolitan, yang secara bersama-sama mampu membangun sebuah masyarakat yang tidak lagi dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar (kapitalisme, globalisasi), tetapi secara kreatif mampu memproduksi kebudayaan sendiri—self producing society.
------
Boulevard ITB Edisi 57
Thursday, April 12, 2007
ITB Tak Menjamumu Hari Ini!
Oleh M Arfah D
Sabtu, 7 April 2007
Kampus terbuka hanya untuk yang membawa undangan kuliah umum Wakil Presiden RI.
Kalimat di atas tertera jelas pada kertas putih yang digantung di tiap pintu masuk kampus Institut Teknologi Bandung. Jalan Ganesha lengang. Kedua sisi persimpangannya ditutup oleh deretan motor dan mobil dari Kapolwiltabes. Paspamres yang didelegasikan oleh TNI Angkatan Darat memasuki kampus, menjaga ketat gerbang utara dan Aula Barat, tempat saat Jusuf Kalla memberikan kuliah umum Penyelesaian Konflik di Indonesia. Ada satu meja depan di sebelah kanan gerbang utama. Di belakangnya duduk dua petugas dari Kesatuan Keamanan Kampus. Jika Anda bukan undangan, sekalipun Anda mahasiswa atau dosen ITB yang berniat masuk bukan untuk melihat kumis Pak Jusuf dan mendengarnya berbicara di podium, jelas Anda dilarang oleh dua petugas tersebut. Anda hanya bisa tersudut di Taman Ganesha dan Mesjid Salman, sebab hari itu, kampus ITB menjadi wilayah privat Wakil Presiden dan undangannya.
Heran, kini kuliah umum harus dihadiri dengan membawa undangan. Jelas undangannya tentu orang-orang pilihan. Maka orang pintar pun akan semakin menjadi pintar. Parahnya, kampus dipilih menjadi tempat acara, yang kemudian menjadi seperti lokasi pernikahan. Pagi itu, sekitar 77 mahasiswa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) angkatan 2006 terpaksa ujian matakuliah Biologi Umum di selasar Gedung Kayu Salman, dengan gelaran tikar dan pemandangan orang lalu lalang. Puri Artha Widhiasi (BI’04) sebagai salah satu koordinator ujian ditolak masuk untuk mengadakan ujian pukul 09.00 di tiga ruangan di Labtek Biru yang telah direncanakan sebelumnya. Dia diperintahkan untuk membawa surat ijin yang pun petugasnya tidak menjelaskan secara rinci bagaimana cara memperoleh surat tersebut. Hingga akhirnya, ujian dilaksanakan, molor 30 menit, setelah perdebatan menghasilkan keputusan bahwa satu dosen diperbolehkan masuk hanya untuk mengambil soal ujian dengan dikawal dua petugas.
Tak hanya mahasiswa SITH yang dirugikan, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan pun mengalami hal yang tidak lebih baik. ”Kami ke kampus untuk praktikum Komputer dan Pemrograman, dan tidak satu pun dari kami yang diperbolehkan masuk dengan alasan yang tidak jelas,” kata Kartika Rahma (FTSL’06). Proyek Khusus yang sedang dijalankan oleh sebagian mahasiswa Kimia angkatan 2004 pun harus mengalami kendala. Iis Fatmawati (KI’04) menyesalkan kedatangan Pak Jusuf yang memberikan dampak besar bagi prosedur praktikum mereka. Dan mahasiswa yang sedang penelitian untuk Tugas Akhir dan mesti berada di laboratorium hari itu, entah kini apa yang terjadi pada mereka.
Kedatangan Jusuf Kalla ke kampus ITB untuk kuliah umum selama dua jam, dari pukul 13.00 hingga 15.00, merupakan satu pukulan hebat bagi masyarakat kampus, khususnya mahasiswa. Penjagaan ketat yang dilakukan sedari pagi, dan pembersihan jalan Ganesha dari rakyat biasa membuat mahasiswa garang. Seminar Nasional Quo Vadis Kemandirian Bangsa Indonesia diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa (KM) ITB dan Forum Kajian Filsafat Bandung, yang sebelumnya direncanakan di Campus Center ITB dialihkan ke Gedung Sasana Budaya (Sabuga) ITB. Bahkan, informan yang lolos masuk ke kampus ITB secara tak sengaja, memberitahukan mesin ATM di dalam kampus semua dimatikan, dan hampir semua WC ditutup. Entah ketakutan semacam apa yang sedang menghinggapi pemerintah, atau Jusuf Kalla pribadi.
Sempat ada dugaan Dwi A. Nugroho, Presiden KM ITB periode 2006-2007, terlibat dalam penutupan kampus. Anni Nuraeni (TL’04), Manajer SDM Sosial Politik, menegaskan Dwi tidak ada sangkut pautnya, dan saat dihubungi, Dwi sedang menghadiri Seminar Nasional di Sabuga bersama Amien Rais. Sebagian mahasiswa yang terpojok di pagar Mesjid Salman ingin beraksi sebagai bentuk penunjukkan sikap. Zulkaida Akbar (FI’03), yang akan menjadi pengganti Dwi untuk periode selanjutnya, mengundang Pak Djaji berbincang dan berbicara di hadapan mahasiswa, ”Tidak perlu kalian mencari persoalan lain, dan untuk hal ini, rektorat tak bisa ikut campur.” Pak Mashudi sebagai koordinator lapangan Kapolwiltabes mengatakan ia dan pasukannya bertugas untuk mengisolasi wilayah acara, tidak lebih. Izul, bersama mahasiswa lainnya, berencana melakukan sesuatu, tapi tertahan oleh hujan.
Selebaran untuk pengadaan aksi datang dari sudut lain. Sehabis Dhuhur, puluhan mahasiswa muncul, mengenakan jas almamater, dan mengusung bendera KM ITB. Mereka berkumpul di Gelap Nyawang dan berorasi. Terlihat Army Al-Ghifary (MS’04) menjadi salah satu komando lapangan. Dalam orasinya, mereka menggugat pemerintahan SBY-JK yang tidak memberi perubahan.
Seperti dalam kisah, peristiwa ini meninggalkan kekesalan yang tak terjawab. Yang pasti hari itu, mahasiswa ITB hanya mampu memandang gerbang kampusnya lewat pagar betis barisan polisi.**
Sabtu, 7 April 2007
Kampus terbuka hanya untuk yang membawa undangan kuliah umum Wakil Presiden RI.
Kalimat di atas tertera jelas pada kertas putih yang digantung di tiap pintu masuk kampus Institut Teknologi Bandung. Jalan Ganesha lengang. Kedua sisi persimpangannya ditutup oleh deretan motor dan mobil dari Kapolwiltabes. Paspamres yang didelegasikan oleh TNI Angkatan Darat memasuki kampus, menjaga ketat gerbang utara dan Aula Barat, tempat saat Jusuf Kalla memberikan kuliah umum Penyelesaian Konflik di Indonesia. Ada satu meja depan di sebelah kanan gerbang utama. Di belakangnya duduk dua petugas dari Kesatuan Keamanan Kampus. Jika Anda bukan undangan, sekalipun Anda mahasiswa atau dosen ITB yang berniat masuk bukan untuk melihat kumis Pak Jusuf dan mendengarnya berbicara di podium, jelas Anda dilarang oleh dua petugas tersebut. Anda hanya bisa tersudut di Taman Ganesha dan Mesjid Salman, sebab hari itu, kampus ITB menjadi wilayah privat Wakil Presiden dan undangannya.
Heran, kini kuliah umum harus dihadiri dengan membawa undangan. Jelas undangannya tentu orang-orang pilihan. Maka orang pintar pun akan semakin menjadi pintar. Parahnya, kampus dipilih menjadi tempat acara, yang kemudian menjadi seperti lokasi pernikahan. Pagi itu, sekitar 77 mahasiswa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) angkatan 2006 terpaksa ujian matakuliah Biologi Umum di selasar Gedung Kayu Salman, dengan gelaran tikar dan pemandangan orang lalu lalang. Puri Artha Widhiasi (BI’04) sebagai salah satu koordinator ujian ditolak masuk untuk mengadakan ujian pukul 09.00 di tiga ruangan di Labtek Biru yang telah direncanakan sebelumnya. Dia diperintahkan untuk membawa surat ijin yang pun petugasnya tidak menjelaskan secara rinci bagaimana cara memperoleh surat tersebut. Hingga akhirnya, ujian dilaksanakan, molor 30 menit, setelah perdebatan menghasilkan keputusan bahwa satu dosen diperbolehkan masuk hanya untuk mengambil soal ujian dengan dikawal dua petugas.
Tak hanya mahasiswa SITH yang dirugikan, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan pun mengalami hal yang tidak lebih baik. ”Kami ke kampus untuk praktikum Komputer dan Pemrograman, dan tidak satu pun dari kami yang diperbolehkan masuk dengan alasan yang tidak jelas,” kata Kartika Rahma (FTSL’06). Proyek Khusus yang sedang dijalankan oleh sebagian mahasiswa Kimia angkatan 2004 pun harus mengalami kendala. Iis Fatmawati (KI’04) menyesalkan kedatangan Pak Jusuf yang memberikan dampak besar bagi prosedur praktikum mereka. Dan mahasiswa yang sedang penelitian untuk Tugas Akhir dan mesti berada di laboratorium hari itu, entah kini apa yang terjadi pada mereka.
Kedatangan Jusuf Kalla ke kampus ITB untuk kuliah umum selama dua jam, dari pukul 13.00 hingga 15.00, merupakan satu pukulan hebat bagi masyarakat kampus, khususnya mahasiswa. Penjagaan ketat yang dilakukan sedari pagi, dan pembersihan jalan Ganesha dari rakyat biasa membuat mahasiswa garang. Seminar Nasional Quo Vadis Kemandirian Bangsa Indonesia diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa (KM) ITB dan Forum Kajian Filsafat Bandung, yang sebelumnya direncanakan di Campus Center ITB dialihkan ke Gedung Sasana Budaya (Sabuga) ITB. Bahkan, informan yang lolos masuk ke kampus ITB secara tak sengaja, memberitahukan mesin ATM di dalam kampus semua dimatikan, dan hampir semua WC ditutup. Entah ketakutan semacam apa yang sedang menghinggapi pemerintah, atau Jusuf Kalla pribadi.
Sempat ada dugaan Dwi A. Nugroho, Presiden KM ITB periode 2006-2007, terlibat dalam penutupan kampus. Anni Nuraeni (TL’04), Manajer SDM Sosial Politik, menegaskan Dwi tidak ada sangkut pautnya, dan saat dihubungi, Dwi sedang menghadiri Seminar Nasional di Sabuga bersama Amien Rais. Sebagian mahasiswa yang terpojok di pagar Mesjid Salman ingin beraksi sebagai bentuk penunjukkan sikap. Zulkaida Akbar (FI’03), yang akan menjadi pengganti Dwi untuk periode selanjutnya, mengundang Pak Djaji berbincang dan berbicara di hadapan mahasiswa, ”Tidak perlu kalian mencari persoalan lain, dan untuk hal ini, rektorat tak bisa ikut campur.” Pak Mashudi sebagai koordinator lapangan Kapolwiltabes mengatakan ia dan pasukannya bertugas untuk mengisolasi wilayah acara, tidak lebih. Izul, bersama mahasiswa lainnya, berencana melakukan sesuatu, tapi tertahan oleh hujan.
Selebaran untuk pengadaan aksi datang dari sudut lain. Sehabis Dhuhur, puluhan mahasiswa muncul, mengenakan jas almamater, dan mengusung bendera KM ITB. Mereka berkumpul di Gelap Nyawang dan berorasi. Terlihat Army Al-Ghifary (MS’04) menjadi salah satu komando lapangan. Dalam orasinya, mereka menggugat pemerintahan SBY-JK yang tidak memberi perubahan.
Seperti dalam kisah, peristiwa ini meninggalkan kekesalan yang tak terjawab. Yang pasti hari itu, mahasiswa ITB hanya mampu memandang gerbang kampusnya lewat pagar betis barisan polisi.**
Tuesday, April 03, 2007
Kelas Jurnalisme
Di saat orang-orang bergembira merayakan wisuda 3 Maret kemarin, kami di Campus Center juga bersenang-senang dalam Kelas Jurnalisme Boulevard.
Ini adalah kelas kecil-kecilan dengan tujuan memperkenalkan apa-itu-jurnalisme kepada teman-teman di kampus. Sengaja ingin kecil saja, supaya kelasnya bisa berlangsung dengan fokus dan akrab. Santai. Niatnya memang mengadaptasi model kursus Jurnalisme Sastrawi di Pantau.
Tapi ternyata yang datang banyaaak sekali -- sampai-sampai tidak terlihat :) Total yang bisa tertangkap kamera hanya dua saja: Wan Intan (kiri) dan Rizky Diah (kanan bawah).
Kami pertama-tama mendiskusikan resensi Andreas Harsono soal Sembilan Elemen Jurnalisme (yang ditulis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, 2001), lalu menghubungkannya dengan kenyataan sehari-hari. Pertanyaan klasik juga dibahas: apakah infotainment itu jurnalisme? Haha.
Kemudian soal wawancara. Berapa banyak kata sih idealnya dalam satu pertanyaan? Makin sedikit rupanya makin baik. Kalau terlalu panjang, malah bikin bingung narasumber.
Keesokan harinya, kami berlanjut ke tulisan. Tentang perbedaan hard news dan feature. Kelebihan dan kekurangan masing-masing. Perbedaan struktur antara keduanya. (Kalau hard news lebih berita, maka feature lebih cerita.)
Wan Intan dan Rizky bilang, kelas kecil-kecilan ini lumayan menarik. Suasananya santai. Kalau ada yang kurang, maka itu terletak pada pembicaranya yang cuma satu. Membosankan mungkin hahahaha.
Ini adalah kelas kecil-kecilan dengan tujuan memperkenalkan apa-itu-jurnalisme kepada teman-teman di kampus. Sengaja ingin kecil saja, supaya kelasnya bisa berlangsung dengan fokus dan akrab. Santai. Niatnya memang mengadaptasi model kursus Jurnalisme Sastrawi di Pantau.
Tapi ternyata yang datang banyaaak sekali -- sampai-sampai tidak terlihat :) Total yang bisa tertangkap kamera hanya dua saja: Wan Intan (kiri) dan Rizky Diah (kanan bawah).
Kami pertama-tama mendiskusikan resensi Andreas Harsono soal Sembilan Elemen Jurnalisme (yang ditulis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, 2001), lalu menghubungkannya dengan kenyataan sehari-hari. Pertanyaan klasik juga dibahas: apakah infotainment itu jurnalisme? Haha.
Kemudian soal wawancara. Berapa banyak kata sih idealnya dalam satu pertanyaan? Makin sedikit rupanya makin baik. Kalau terlalu panjang, malah bikin bingung narasumber.
Keesokan harinya, kami berlanjut ke tulisan. Tentang perbedaan hard news dan feature. Kelebihan dan kekurangan masing-masing. Perbedaan struktur antara keduanya. (Kalau hard news lebih berita, maka feature lebih cerita.)
Wan Intan dan Rizky bilang, kelas kecil-kecilan ini lumayan menarik. Suasananya santai. Kalau ada yang kurang, maka itu terletak pada pembicaranya yang cuma satu. Membosankan mungkin hahahaha.
Subscribe to:
Posts (Atom)