Tuesday, June 12, 2007

Banalitas Budaya Kampus

Oleh Yasraf Amir Piliang
Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK)
Fakutas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung


Wajah kebudayaan bangsa akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan perubahan ke arah kondisi, yang di dalamnya dirayakan aspek-aspek kebudayaan yang bersifat permukaan. Ruang-ruang kebudayaan dipenuhi oleh berbagai pertunjukan, tontonan, tayangan, representasi dan tindakan-tindakan yang mengeksploitasi berbagai bentuk yang bernilai rendah, banal dan dan tak-esensial.

Ruang-ruang budaya politik, ekonomi, hukum, media, hiburan, pendidikan, bahkan agama dipenuhi oleh berbagai strategi populer atau popularisme, yang menggunakan model-model strategi dan psikologi massa budaya populer, dalam rangka mencari popularitas, menghimpun massa, memenangkan pemilihan, mendapatkan pengikut, meningkatkan rating atau mencari keuntungan—popular strategies.

Kecenderungan ke arah strategi populer di dalam kebudayaan bangsa, termasuk budaya kampus, telah menggiring ke arah pendangkalan dan banalitas di dalam budaya politik, hukum, media, pendidikan, bahkan agama. Di dalam banalitas itu, iklan politik tidak dapat dibedakan lagi dari iklan sabun mandi; lembaga pendidikan tidak dapat dibedakan lagi dari agen-agen perjalanan; ceramah agama tidak dapat dibedakan lagi dari pertunjukan musik panggung;

Dengan sifat permukaannya, aktivitas-aktivitas kebudayaan lebih cenderung mengeksploitasi berbagai bentuk histeria massa (mass histeria), yaitu strategi memanipulasi emosi massa, sehingga mencapai kondisi puncak tak terkendali atau ekstasi, yang diperlihatkan dalam berbagai bentuk teriakan, tangisan atau kesedihan massa, baik dalam aktivitas politik, tontonan media, atau ritual keagamaan.

Di dalam ruang kebudayaan berlangsung sebuah proses pembalikan cultural (cultural reversal), yaitu proses ‘pengesensialan yang banal’, dan sebaliknya’ banalisasi yang esensial’. Segala yang tak-esensial—tetapi menghibur, menyenangkan, mempesona, dan menghanyutkan—mendapatkan ruang yang mewah di dalam media-media kebudayaan; sebaliknya, segala yang esensial—yang berguna dalam rangka pembangunan kreativitas bangsa, karakter bangsa (character building) dan pendidikan publik—justru tidak mendapatkan ruang hidupnya—the banality of culture.


***

Theodor Adorno, di dalam The Culture Industry (1991) mengatakan, bahwa kebudayaan yang dibangun mengikuti model-model budaya komoditi (culture industry), termasuk budaya kampus, hanya menghasilkan wujud-wujud kebudayaan yang dangkal, yang di dalamnya lebih dipentingkan daya tarik, keterpesonaan dan ekstasi massa yang bersifat temporer, dengan mengeksploitasi berbagai fetishism, untuk memenuhi hasrat rendah (desire) manusia, di antaranya adalah seks, kekerasan dan mistik.

Kebudayaan dalam format budaya massa cenderung dikendalikan oleh sekelompok elit (produsen, pengusaha, media), yang dalam rangka menarik massa yang luas, menciptakan bentuk-bentuk kebudayaan yang dapat dipahami dengan mudah oleh massa, sehingga ia cenderung bergantung pada bentuk-bentuk kebudayaan yang ringan, enteng, mudah, menghibur, menarik perhatian (eye catching) dan menimbulkan pesona—inilah banalitas kebudayaan.

Banalitas politik (banality of politics) telah menciptakan ruang-ruang publik politik yang dipenuhi oleh segala sesuatu yang bersifat permukaan, dangkal dan populer, yang tidak konstruktif bagi pendidikan publik politik. Berbagai keputusan politik (pilihan politik, kebijakan politik, strategi politik) sangat dibentuk oleh sifat populerisme ini, sehingga menggiring ke arah ‘pengkerdilan politik’, yang kini menggantungkan hidupnya pada citra permukaan dan populerisme tokoh.

Banalitas media (banality of media) telah menciptakan ruang-ruang media yang dipenuhi oleh berbagai fetishism bintang, tubuh, obyek, kekerasan dan mistik, yang motif utamanya adalah menciptakan kepuasan (jouissance) demi keuntungan, bukan pendidikan publik. Berbagai acara tontonan sinetron, kuis, reality show dan mistis menyedot habis-habisan kesadaran massa, yang digiring ke alam histeria, keterpesonaan dan kecanduan, sehingga tidak mempunyai ruang bagi pengembangan diri dan perenungan eksistensi.

Banalitas ekonomi (banality of economy) menciptakan ruang-ruang ekonomi yang dipenuhi oleh berbagai komoditi yang lebih banyak mengeksploitasi nilai tanda (sign value) dan libido (libidinal value), ketimbang nilai guna (use value); mengeksploitasi hasrat ketimbang kebutuhan. Berbagai produk—mobil, hand phone, kamera, pakaian—telah menggiring orang ke dalam ekstasi pergantian penampakan atau gayanya tanpa henti, yang sesungguhnya tidak esensial dibandingkan nilai-nilai gunanya, tapi kini dianggap penting.

Banalitas budaya kampus telah menciptakan lingkungan kampus, yang di dalamnya ruang-ruang kampus tidak ubahnya seperti ‘shop display’, yang di dalamnya mahasiswa lebih senang, di satu pihak, menampilkan gaya pakaian, gaya bicara, gaya handphone, gaya mobil, gaya tongkrongan, sebagai cara untuk menampilkan status, prestise, dan kelas, ketimbang mengejar pengetahuan; di pihak lain, tenggelam dalam mengejar tugas, nilai, dan kelulusan, tetapi tidak punya waktu dan keinginan untuk bersosialisasi dan bergaul di dalam kehidupan nyata (sosial, politik, kultural, spiritual).

Banalitas kampus telah menciptakan ruang-ruang kampus, yang telah berbaur dengan ruang-ruang budaya populer dan gaya hidup. Aktivitas-aktivitas kampus, di satu pihak, kini mengikuti model-model ekspresi budaya populer: kuliah di sebuah cafe, yang menyediakan door prize, studi banding (baca: jalan-jalan) yang disponsori perusahaan; di pihak lain, mengikuti model asylum, di mana mahasiswa dikondisikan hidup di dalam sebuah ruang ‘steril’, yang tidak ada kontak dengan masyarakat umum, dan persoalan sosial nyata.

***

Banalitas budaya kampus menciptakan anak bangsa sebagai manusia yang cenderung ‘hanyut’ di dalam apa-apa yang ditawarkan padanya (tontonan, produk, kesenangan, gaya, gaya hidup), tanpa mampu lagi mengembangkan daya kritis dalam dirinya. Inilah manusia yang digambarkan Baudrillard, In the Shadow of the Silent Majorities (1983), sebagai manusia fatalis, yang tidak berdaya di dalam kekuasaan sistem (obyek, tontonan, media, citra), dan hanyut di dalam logikanya—homo fatalis.

Manusia kampus sebagai manusia fatalis terserap ke dalam berbagai dunia (TV, fashion, komoditi, gaya hidup) yang bersifat permukaan, dan tidak dapat melepaskan diri darinya. Di dalamnya ia menjadi mayoritas yang diam (the silent majorities), yang tak mampu melakukan kritik dan refleksi, yang hanya dapat menyerap segala sesuatu, tanpa mampu menginternalisasikan dan memaknainya.

Manusia kampus adalah manusia penikmat (gaya, pengetahuan, teori), ketimbang pencipta, konsumer ketimbang produser. Budaya kampus yang dibangun oleh manusia fatalis adalah kebudayaan yang tidak produktif, yang hanya menghasilkan ‘budaya konsumerisme’. Inilah anak bangsa yang menghabiskan hidupnya, di satu pihak, untuk mencari nilai, gelar dan kelulusan; di pihak lain kepuasaan, keterpesonaan dan kesenangan, dan tidak punya waktu lagi untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan lainnya: intelektualitas, produktivitas, sosialitas, spiritualitas dan religiusitas.

Manusia fatalis adalah manusia yang sebagian besar ruang-waktunya dihabiskan di dalam banalitas layar (televisi, video game, chating, video), dan terserap ke dalam logika layar tersebut. Ia menerima secara tidak kritis gelombang citra-citra simulasi yang menyerang dirinya dari segala arah, sebagai cara ia memaknai hidupnya. Padahal, semuanya merupakan lukisan palsu tentang dirinya yang sebenarnya (true self), disebakan ia tidak mempunyai lagi daya resistensi dan daya kritis dalam menghadapi dunia banalitas tersebut.

Dalam meneropong arah budaya kampus di masa depan, harus ada upaya-upaya untuk menghentikan dominasi banalitas, popularisme, sifat steril dan asylum budaya kampus. Berbagai upaya untuk menciptakan budaya tanding (counter culture) harus digalang, dalam rangka menciptakan wajah kebudayaan yang lebih produktif, substantif, humanis, dan bermakna, yang di dalamnya manusia tidak lagi menjadi ‘subyek pasif’ kebudayaan, melainkan ‘subyek aktif’, yang mampu secara aktif, dinamis dan kreatif membangun dunia kebudayaannya sendiri.

Untuk itu, di masa depan yang dibutuhkan dalam rangka pembangunan budaya kampus yang lebih humanis, bermakna dan luhur adalah ‘manusia aktivis’, yaitu manusia yang mempunyai daya kritis, daya kreativitas, jiwa kepeloporan, keinginan berprestasi, hasrat inovasi, dan jiwa kosmopolitan, yang secara bersama-sama mampu membangun sebuah masyarakat yang tidak lagi dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar (kapitalisme, globalisasi), tetapi secara kreatif mampu memproduksi kebudayaan sendiri—self producing society.

------
Boulevard ITB Edisi 57

1 comment:

Anonymous said...

Aku mendukung budaya hedonisme

www.tante-girang.cjb.net
.