Thursday, July 14, 2005

ganesha, sebuah anomali

"arogan dan tak bisa bekerjasama"

Pendapat, pernyataan, dan sebuah 'tonjokan', katakanlah, yang mafhum terlontar ketika berbicara mengenai lulusan institusi ganesha 10 bandung. Bahkan Kus, mantan rektor, telah berulang kali berkata seperti itu, curhat, hampir dalam berbagai kesempatan. Hingga ia 'menganjurkan', bahkan hingga 'mendorong' mahasiswa untuk gaul, gaul, dan gaul. Menjadi suatu pertanyaan, apakah memang alumni kita seperti itu? Sebelum sebuah kata "tanyakanlah pada diri anda sendiri" tampil di tulisan ini, sebuah pemahaman mengenai lingkungan, dan geo-sosio-politik tempat anda berada harus disadari lebih dulu. Maksudnya? Begini, hampir selama kita belajar, mengenal sebuah lingkungan sosial paling kecil hingga akhirnya kita menimba ilmu pada bangku pendidikan -dasar hingga atas-, satu hal yang selalu ditanamkan adalah sebuah nilai moral bernama kekeluargaan.

Tentu, memang itu tidak salah. Itu bagus, sangat bagus, hingga akhirnya terjadilah sebuah pengkultusan. Distorsi dan disorientasi terjadi. Secara teratur dan sistematis, pemerintahan Republik Indonesia dengan restu dan pemikiran Soeharto, Nasution, Amir Mahmud, dkk, terjerumus kedalam sebuah sistem yang sangat militeristik. Bagaimana tidak, secara struktural, pemerintahan sipil memiliki garis komando. Mulai terkecil RT/RW, hingga MPR/DPR. Memang, itupun juga tidak salah. Tapi ketika berbicara keamanan, maka, unsur 'kekeluargaan'lah yang berbicara.

'Kekeluargaan'? Jangan lupa pada tingkat terkecil pun, ada yang namanya Hansip dan Babinsa. Apakah ini berarti unsur militer mencampuri urusan sipil? Demi tercapai stabilitas kebijakan politik, pada tingkat regional seperti kota atau kabupaten, dan propinsi terdapat yang namanya Muspida. Musyawarah Pimpinan Daerah. Walikota atau Gubernur, harus melakukan rapat dengan Muspida, dimana di dalamnya terdapat unsur Kepala Polisi, dan Komandan Militer.

Kekeluargaan, dalam sebuah lingkungan sipil, masih memerlukan unsur militer? Bukankah seharusnya, dalam satu daerah, kepala polisi dan kepala militer berada di bawah kepala daerah. Karena mereka adalah unsur keamanan, bukan untuk membuat kebijakan, policy, atau tidak lain bukan untuk ber'politik'. Yang lebih menggelikan lagi, sebagai contoh, dalam sistem kepegawaian pegawai negeri, terdapat yang namanya Dharma Wanita. Sebuah perkumpulan bagi istri pegawai negeri, seperti halnya persatuan istri tentara. Dibalik seabrek kegiatan jalan-jalan keluar negeri dan program tidak jelas lainnya, sebuah hal menarik mengenai eksistensi istri dalam Dharma Wanita, berpengaruh besar terhadap posisi, jabatan dan kepangkatan sang suami. Kasarnya, hati-hatilah suami, ajarilah istri anda untuk aktif, sopan, dan manut, dalam dharma wanita, atau karier anda mandek. Lagi-lagi, sebuah kekeluargaan memang. Namun, karena 'kekeluargaan' tadi, maka penilaian terhadap satu orang tidak akan berdasar pada kapabilitas, intelegensia, dan apa yang dapat ia sumbangkan pada negara, namun pada sebuah 'nilai kekeluargaan' yang berdasar pada sistem dan norma sosial. Itulah sebab, orang-orang pintar di negeri ini, tidak mungkin untuk memberikan kontribusi berharga bagi perbaikan bangsa, karena, jika anda tidak memiliki 'kekeluargaan', maka anda tidak mungkin masuk ke sistem yang ada. Kesempatan individu tidak akan diberikan tempat bagi sebuah lingkungan yang menganut 'politik kekeluargaan'. Tidak ada kompetisi, dan tidak ada kesempatan untuk menunjukkan apa yang terbaik dari kita.

'Kekeluargaan' bercampur dengan 'komando'. Komando berarti terdapat jenjang, status, dan strata. Gampangnya, senioritas. Tunduk dan patuh pada yang berada lebih di atas. Dan yang di atas, akan selalu menganggap remeh yang di bawah. Tidak ada dialektika, diskursus, dan transfer ilmu masih berdasarkan sistem guru, (jw) di-gugu lan di-tiru (di turuti dan di tiru). Dan parahnya, hal ini juga berlaku sebagai sistem 'sosial masyarakat' di lingkungan pendidikan tinggi. Kampus, dengan arogansi himpunan, dan metode orientasi studinya. Sekali lagi, potensi individu yang ada tidak dapat maksimal, karena hilangnya kesempatan.

Lalu, ketika label "arogan dan tidak bisa bekerja sama" mengikuti brand image tiap lulusan ganesha 10, apakah berarti kita memang benar-benar arogan, tidak tahu diri, dan sombong bisa mengalahkan siswa sma manapun, bisa mengenyam pendidikan dengan prestise dan nama besar institusi akademis, ataukah kita hanyalah sebuah anomali dari sebuah sistem yang menganut pada 'politik kekeluargaan' tadi, dimana kita masih menghargai dan tidak memandang remeh kapabilitas dan potensi dari tiap individu, dan kita masih bisa berdebat, sejajar, dan menghilangkan status dan strata yang ada di antara kita, dengan mengakui kelemahan, terbuka akan hal-hal baru, namun juga sekaligus berproses dalam melakukan transfer ilmu, dan pengetahuan karena pengalaman kita yang lebih dulu?

Anomali, yang mungkin tidak akan bersemayam, dalam jiwa seorang yang berhenti berproses, seorang yang berkata "sudah dan ya", seorang yang tidak berani berkata "tidak", dan seorang yang mengagungkan kebersamaan, namun mengkultuskan individu, mencapai keberanian dan keberhasilan atas sesuatu yang dipaksakan, bukan sebagai sebuah pembelajaran.

Adi Nugroho