Oleh Batari Saraswati dan Floresiana Yasmin Indriasti
Boulevard ITB
Masih ingat adegan dari film Arisan yang diputar beberapa waktu lalu di bioskop? Di akhir cerita, salah satu tokoh utama yang diperankan oleh Tora Sudiro memperkenalkan diri:
“Saya, Sakti. I am gay.”
Jangan kaget jika suatu hari kamu berkenalan dengan tokoh serupa Sakti di kampus ITB.
Soni, bukan nama sebenarnya, adalah seorang mahasiswa ITB. Laki-laki yang terkesan kalem ini mengaku pertama kali menyadari penyimpangan orientasi seksualnya sejak kelas 6 SD. Tak seperti layaknya laki-laki pada umumnya, Soni merasa lebih tertarik pada sesamanya. Bahkan dia mengaku, “SMP kelas 3 gue udah ngga bernafsu ngeliat cewek.”
Soni, lulusan salah satu SMA ternama di Jakarta, baru mulai berani membuka diri saat kuliah. “Gue udah tau di ITB banyak. Gue masuk ITB alasannya itu,” ujarnya sambil tertawa. Gay ITB berkumpul dan melahirkan semacam komunitas. Terhitung sejak awal tahun ini, sudah empat kali mereka mengadakan gathering, dan tempatnya di luar kampus.
“Sebelumnya ada gathering se-Bandung, tapi anak-anak ITB cenderung lebih ke dalam,” lanjutnya. Alasannya, menurut Soni, ada beberapa teman yang beranggapan komunitas gay di luar ITB sudah tidak jelas ’main’nya ke mana. “Padahal nggak juga,” ujarnya.
Tak hanya mahasiswa ITB yang datang ke acara gathering, alumni angkatan ’70 pun pernah hadir di sana. “Salah satu pengamat ekonomi lah...,” tandas Soni yang mengaku lupa nama dari alumni tersebut.
Di kesempatan lain kami bertemu dengan teman Soni. Sebut saja, Anton. Dia pun cukup aktif terlibat dalam komunitas gay ITB.
“Gak ada official leadernya. Cuman, ada orang yang dipercaya untuk ngadain gathering, namanya host,” begitu penjelasan Anton ketika ditanya ’cara kerja’ komunitas ini. Host berganti setiap kali gathering. Anton sendiri pernah menjadi host salah satu gathering yang diadakan pada pertengahan Januari lalu di salah satu kafe di daerah Cibeunying.
Sempat beredar isu bahwa komunitas ini ingin mengukuhkan diri sebagai unit. Bahkan, terdengar kabar bahwa proposal pendirian unit itu sudah sampai ke Lembaga Kemahasiswaan. “Iya, gua pernah dengar tuh. Tapi mau ngapain juga dibikin unit. Kegiatannya apa?” komentar Anton, sangsi.
Anton mengaku bahwa banyak orang dari komunitas ini mengganggap ia adalah simbol. Dia memang ‘terbuka’ mengenai orientasi seksualnya pada lingkungan sekitar, dan merasa nyaman. Dia bahkan aktif di himpunan dan sempat memegang jabatan struktural. “Tidak ada perlakuan diskriminatif,” ujarnya. Tapi ada beberapa orang yang tidak setuju dan memilih tidak berinteraksi lagi dengan Anton. “Sedikit, hitunglah dari seribu orang, satu yang begitu,” ungkapnya.
“Gay di ITB itu beda sama gay di luar. Mereka lebih jaim. Ada yang kalau ketemu gua, pura-pura gak kenal,” komentar Anton soal teman-teman gay di ITB.
Hal ini dibenarkan pula oleh Andi, salah seorang gay lain yang kami temui. “Anak luar ITB lebih open minded, anak ITB lebih suka sendiri-sendiri.”
Dari kebiasaan yang terkesan individual itu, tercetus lah ide gathering. Sekedar untuk saling mengenal dan have fun, demikian alasan yang diungkapkan Andi yang merasa lebih sreg menggunakan kata ’arisan’ ketimbang ’komunitas’ untuk merujuk pada perkumpulan kaum gay di ITB. ”Acaranya biasanya tuh cuma kenalan, terus ada games, ngobrol-ngobrol. Ya gitu-gitu aja...,” imbuhnya.
Tak hanya bercerita tentang gathering, Andi pun bersedia berbagi pengalamannya. “Menjadi gay itu ada fasenya. Pertama denial, di fase ini yang menentukan nantinya gimana. Ini fase yang susaaah banget. Masa denial gue 5 tahun. Kedua, acceptance. Di sini udah mulai curious dan cari informasi,” jelas Andi.
Bagi Andi, menjadi gay itu adalah pilihan. "Hidup itu pilihan, gue pengen kayak gini," ujarnya. "Gue milih ini karena gue udah siap. Kebanyakan orang suka let it flow dan tahu-tahu mereka stuck, ’kok gue udah sejauh ini ya?’”
Dia pun sudah memantapkan hatinya untuk tidak akan menyukai lawan jenis, sekalipun ia pernah merasakan pacaran ‘normal’ semasa SMA. Bukan karena perempuan tidak menarik. “Buat gue cewek hanya untuk dikagumi,” ujarnya tersenyum.
Bagaimana dengan lesbian? Arin, bukan nama sebenarnya, juga mahasiswa ITB. Sekilas, tidak ada yang berbeda pada Arin, hanya sikapnya yang sedikit tomboy. Dia mengaku sudah mulai merasakan suka pada perempuan sejak ia duduk di bangku SD.
“Gua bi (biseks-red),” akunya. Beberapa waktu lalu ia bertunangan dengan pacarnya, seorang laki-laki. Namun saat ini sudah tidak lagi. “Gua sayangnya sama cewek, ya udah....”
Bagaimana Arin membedakan perasaan sayang ini, sebagai sekedar perasaan terhadap teman atau pacar? “Ya gua deg-degan. Kan gak lucu kalo deg-degan sama temen.” Baginya, perempuan yang menarik adalah perempuan berambut panjang, berkulit putih, dan juga pintar.
Untuk mendeteksi seseorang homoseksual atau tidak, baik Arin, Soni, Anton maupun Andi, sepakat bahwa kaum homoseksual umumnya dianugerahi gaydar.
Soni mengatakan kaum lesbian umumnya lebih tertutup, namun Arin mengaku, ia dan beberapa teman lesbian lainnya sering ikut berkumpul saat gathering kaum gay dilakukan. Membandingkan komunitas homoseksual di luar dan dalam ITB, Arin berkomentar, “Anak luar lebih ngumpul hedon yang keterlaluan. Kuliah keteteran. Anak ITB nggak, masih terkontrol, masih punya otak.”
“Apa sih gunanya orientasi seksual? Gua pikir yang lebih ngaruh itu apa yang lo lakuin. Percuma aja kalo lo lurus kalau hidup lo bejat dan gak pernah melakukan apa pun untuk orang lain. That doesn’t mean anything,” ujar Arin.
Tentu saja, mereka bukannya tidak menyadari perilaku mereka dapat menuai tantangan dari berbagai pihak. Rendy Saputra (TM’04), Sekretaris Jendral Keluarga Mahasiswa Islam yang juga Anggota Majelis Syuro’, berkomentar, ”Pertama, mereka (kaum gay-red) tidak bisa memberikan keturunan. Kedua, itu ’barang’ tidak dimasukkan ke tempat yang benar, kan.” Ketakutan Rendy ialah lahirnya pelabelan sosial jika sampai komunitas gay ini mendeklarasikan diri dan diterima oleh ITB. “‘ITB saja, universitas yang intelektual dan pemikiran rasional punya keberterimaan kepada komunitas ini’. Berarti Indonesia nggak cerdas, dong.”
Rendy lebih lanjut berkata, “Anda (gay–red) bukan musuh. Anda bukan untuk dikucilkan. Tapi Anda ini sakit dan harus diobati.”
Tapi bagi Anton, tidak ada istilah sakit dalam komunitas mereka. “Cuma gara-gara jumlahnya sedikit aja kok,” ujarnya. “Gua gak suka gua ditanyain ‘kapan sembuh?’ Sembuh dari apa?” []
------
Boulevard ITB Edisi 57
Tuesday, June 12, 2007
Kata Mereka Tentang Kita
Oleh Muhammad Arfah D
Boulevard ITB
Saya mendorong keras gerbang besar Gedung Pastoral Keuskupan, menyapa resepsionis, dan menaiki tangga menuju Bale Pustaka. Hari itu, tiga buku mesti saya kembalikan. Saat pustakawan melayaniku dengan senyum sinis, ada sapaan terdengar dibalikku. “Eh, anak ITB mainnya ampe Bale ya ternyata, bukannya rektor kalian nyuruh untuk belajar di kampus, hehehe.” Saya hanya beri senyum sebagai balasan.
Dua kawan komunitas sastra, yang berasal dari latar pendidikan bukan ITB, saya ajak untuk melihat Deddy Mizwar di acara LFM, Naga Bonar Nyasar ke ITB, Minggu, 29 April lalu. LFM yang bekerjasama dengan KM ITB saat itu menayangkan kabar rencana OSKM 2007. Di salah satu tampilannya, ada kata ‘Cuma nonton kok! Gak akan di-DO’. “ITB banget!” timpal salah seorang kawan. Dan lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum.
Begitulah. Dua perspektif di atas jelas menunjukkan bagaimana mahasiswa ITB di kacamata mereka. Kita, setidaknya menurut dua orang kawan luar ITB, seolah berada pada kondisi yang ‘terpenjara’. Beban kuliah yang berat, pengetatan gerak organisasi oleh rektorat, ketakutan pada akademis. Kecintaan ilmu keteknikan yang terlampau besar pun menjadikan kita seolah tak punya ilmu lain. “Mayoritas mahasiswa ITB tuh kaku, dan banyak yang nganggur, karena terlalu idealis ma ilmunya,” komentar Yulianti Eka Sasmita, mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI angkatan 2004. Sebagian besar dari kita melakukan ini demi meningkatkan nilai ekonomis diri dan keluarga. Tentu banyak yang menginginkan beasiswa, kerja di perusahaan besar, dan menjadi sukses, tanpa memperhatikan proses intektualitas yang dilalui semasa kuliah.
Yasraf Amir Piliang, dosen Pasca Sarjana Desain Produk ITB, berkata, “Saat ini, sebagian besar mahasiswa, termasuk mahasiswa ITB, melihat kederajatannya lewat nilai ekonomis, dan nilai intelektualitas berada pada posisi terendah.” Kita bisa berkaca dengan cermin yang sederhana. Ada tugas menulis essai agama, sebagian besar dari kita malas mencoba jalan yang ‘sulit’. Tinggal masuk di dunia maya, mencomot beberapa artikel, lalu menggabungkannya jadi satu. Parahnya lagi, essai itu disahkan sebagai karya pribadi.
Apa ini disebabkan ketidakketerbukaan pikiran mahasiswa ITB terhadap hal lain? Komunitas sastra, teater, diskusi filsafat, di seantaro kota Bandung memang jarang memperlihatkan wajah-wajah ITB. Ilmu di luar keteknikan seperti menjadi ‘aneh’ jika dibicarakan oleh kita. Maka saat ilmu tersebut dihadapkan, kita angkat tangan dan memilih cara pragmatis untuk menghadapinya.
Terjadi transformasi perilaku mahasiswa lampau dengan mahasiswa kini. Mahasiswa lampau yang peduli dengan dunia luarnya, mahasiswa kini yang terkesan hanya peduli dengan dirinya. Fenomena ini terjadi setelah pemerintahan Soeharto mengeluarkan Normalisasi Kehidupan Kampus.
“Mahasiswa ITB tuh dikebiri. Mahasiswa ITB menjadi korban dari sebuah sistem. Siapa yang mau kuliah lama dengan spp yang sebegitu besarnya?” ungkap Sang Denai, mantan mahasiswa Universitas Islam Bandung. Setelah normalisasi era Orde Baru, sistem bermain untuk mengarahkan mahasiswa hanya pada belajar keakademisan. Entah mengapa, sistem ini berlanjut pada era reformasi, bahkan pada tingkat ‘mengkhawatirkan’.
Keaktifan kita di luar kampus jelas dibutuhkan. Melihat kondisi luar sebagai pemetaan pikiran menjadi lebih terbuka. Soal sistem yang mengebiri, kita harap generasi tua bisa mengerti kehausan kita pada dunia. []
------
Boulevard ITB Edisi 57
Boulevard ITB
Saya mendorong keras gerbang besar Gedung Pastoral Keuskupan, menyapa resepsionis, dan menaiki tangga menuju Bale Pustaka. Hari itu, tiga buku mesti saya kembalikan. Saat pustakawan melayaniku dengan senyum sinis, ada sapaan terdengar dibalikku. “Eh, anak ITB mainnya ampe Bale ya ternyata, bukannya rektor kalian nyuruh untuk belajar di kampus, hehehe.” Saya hanya beri senyum sebagai balasan.
Dua kawan komunitas sastra, yang berasal dari latar pendidikan bukan ITB, saya ajak untuk melihat Deddy Mizwar di acara LFM, Naga Bonar Nyasar ke ITB, Minggu, 29 April lalu. LFM yang bekerjasama dengan KM ITB saat itu menayangkan kabar rencana OSKM 2007. Di salah satu tampilannya, ada kata ‘Cuma nonton kok! Gak akan di-DO’. “ITB banget!” timpal salah seorang kawan. Dan lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum.
Begitulah. Dua perspektif di atas jelas menunjukkan bagaimana mahasiswa ITB di kacamata mereka. Kita, setidaknya menurut dua orang kawan luar ITB, seolah berada pada kondisi yang ‘terpenjara’. Beban kuliah yang berat, pengetatan gerak organisasi oleh rektorat, ketakutan pada akademis. Kecintaan ilmu keteknikan yang terlampau besar pun menjadikan kita seolah tak punya ilmu lain. “Mayoritas mahasiswa ITB tuh kaku, dan banyak yang nganggur, karena terlalu idealis ma ilmunya,” komentar Yulianti Eka Sasmita, mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI angkatan 2004. Sebagian besar dari kita melakukan ini demi meningkatkan nilai ekonomis diri dan keluarga. Tentu banyak yang menginginkan beasiswa, kerja di perusahaan besar, dan menjadi sukses, tanpa memperhatikan proses intektualitas yang dilalui semasa kuliah.
Yasraf Amir Piliang, dosen Pasca Sarjana Desain Produk ITB, berkata, “Saat ini, sebagian besar mahasiswa, termasuk mahasiswa ITB, melihat kederajatannya lewat nilai ekonomis, dan nilai intelektualitas berada pada posisi terendah.” Kita bisa berkaca dengan cermin yang sederhana. Ada tugas menulis essai agama, sebagian besar dari kita malas mencoba jalan yang ‘sulit’. Tinggal masuk di dunia maya, mencomot beberapa artikel, lalu menggabungkannya jadi satu. Parahnya lagi, essai itu disahkan sebagai karya pribadi.
Apa ini disebabkan ketidakketerbukaan pikiran mahasiswa ITB terhadap hal lain? Komunitas sastra, teater, diskusi filsafat, di seantaro kota Bandung memang jarang memperlihatkan wajah-wajah ITB. Ilmu di luar keteknikan seperti menjadi ‘aneh’ jika dibicarakan oleh kita. Maka saat ilmu tersebut dihadapkan, kita angkat tangan dan memilih cara pragmatis untuk menghadapinya.
Terjadi transformasi perilaku mahasiswa lampau dengan mahasiswa kini. Mahasiswa lampau yang peduli dengan dunia luarnya, mahasiswa kini yang terkesan hanya peduli dengan dirinya. Fenomena ini terjadi setelah pemerintahan Soeharto mengeluarkan Normalisasi Kehidupan Kampus.
“Mahasiswa ITB tuh dikebiri. Mahasiswa ITB menjadi korban dari sebuah sistem. Siapa yang mau kuliah lama dengan spp yang sebegitu besarnya?” ungkap Sang Denai, mantan mahasiswa Universitas Islam Bandung. Setelah normalisasi era Orde Baru, sistem bermain untuk mengarahkan mahasiswa hanya pada belajar keakademisan. Entah mengapa, sistem ini berlanjut pada era reformasi, bahkan pada tingkat ‘mengkhawatirkan’.
Keaktifan kita di luar kampus jelas dibutuhkan. Melihat kondisi luar sebagai pemetaan pikiran menjadi lebih terbuka. Soal sistem yang mengebiri, kita harap generasi tua bisa mengerti kehausan kita pada dunia. []
------
Boulevard ITB Edisi 57
"Bapakmu ITB?"
Ketika mahasiswa tak lagi punya mimpi
Oleh Fadilla Tourizqua Zain dan M Arfah D
Boulevard ITB
Seorang alumni Teknik Sipil angkatan '86 menangis. Dia khawatir orang tuanya di Solo tidak makan layak beberapa hari. Sebab uang hasil narik becak bapaknya ditukar dengan sebuah kalkulator.
Bagi mereka yang datang dari berbagai pelosok Indonesia, merantau jadi bukan kata asing lagi. Mereka membawa mimpi dari tempat asal mereka. Keluarga tentu punya harapan besar bahwa anak mereka akan meraih sukses di kampus gajah ini.
Itu dulu. Sekarang, fenomena yang terjadi berbeda. Tidak sedikit mahasiswa ITB yang menyandang status generasi kedua. Alias orang tuanya lulusan ITB. Mereka mau tidak mau dititipi mimpi oleh orang tua mereka. Si generasi pertama. “Secara nggak langsung, yaa emang bokap gue ngarahin gue untuk masuk ITB,” aku Gita Prima Ramadhanti (TL ’04). Orangtuanya adalah alumni ITB angkatan 1978.
Senada seperti yang diakui Gita, temannya, Dyah Wulandari Putri (TL ’04) juga bercerita. “Dari kecil, Ibu bilang untuk mengikuti jalur SMP 5, SMA 3, lalu ITB,” ungkapnya. Wulan, begitu ia akrab disapa, bukan mahasiswa perantau. Dia besar di Bandung. Kedua orang tua Wulan juga jebolan ITB. Ibunya, Endang Juliastuti (ITB’78), kini berprofesi sebagai dosen di Program Studi Fisika Teknik ITB.
Baik Gita maupun Wulan punya keinginan tersendiri sebelum akhirnya kejeblos di ITB. “Dari kelas 2 SMA, waktu gue mau penjurusan. Sebenernya gue pengen masuk IPS, karena gue mau masuk Komunikasi,” kata Gita. Namun keduanya juga bersyukur dengan keadaan mereka sekarang. “Aku emang bukan tipe yang kreatif, yaa ikut aja apa yang dibilang ibu,” kata Wulan. “Kalau gue nggak di sini, mungkin gue udah terdampar di universitas swasta jakarta entah apa, hahaha...,” timpal Gita.
Lain lagi dengan Yuki Hastarina (FA ’02). Dia kini sedang menjalani Tugas Akhir, tapi masih mengutuki diri yang rela masuk jurusan yang tidak diminatinya itu. “Sejak SMA, almarhum bokap gue menyuruh gue masuk ITB. Bukan menyarankan, benar-benar nyuruh. Bahkan waktu mendekati SPMB dia spesifik nyebut satu jurusan. Farmasi.”
Almarhum ayah Yuki adalah lulusan Kimia. ”Waktu itu ayah bilang, kalau masuk Farmasi mungkin saya bisa bantu-bantu di proyeknya.” Yuki sendiri sebenarnya berkeinginan kuliah di Psikologi Unpad. Kalau dipikir, Farmasi ITB dan Psikologi Unpad sedikit banyak kan berhubungan dengan medis, “Gue suka belajar tentang manusia. Tapi bukan tentang anatominya. Gue lebih tertarik dengan sisi psikisnya.” Namun ayahnya saat itu tak kunjung menghiraukan keinginan Yuki. “Bokap emang mendidik anak-anaknya dengan keras. Keinginan gue sepertinya jadi angin lalu aja. Hidup gue seakan-akan tuh dia yang garisin.”
Sadar dengan keadaan, Yuki mencoba melihat-lihat jurusan apa di ITB yang kira-kira cocok untuknya. Tapi Yuki tidak menemukannya. Akhirnya ia pasrah. Kode jurusan Farmasi dan Biologi ITB ia lingkari di formulir SPMB. Keduanya pilihan sang ayah.
Perasaan ‘salah jurusan’ mulai ia rasakan saat lepas dari TPB. Dia sempat cuti kuliah pada semester 6. Inilah titik jenuhnya. Semua rasa bercampur; jenuh dengan kuliah yang tidak ia senangi, kehilangan ayah, dan harus bekerja. “Tapi ada sedikit rasa lega dalam hati saat itu. Satu tekanan hilang.” ungkapnya.
Gita, Wulan, dan Yuki. Bukan berarti mereka tak bisa mengembangkan minat mereka. ”Gue pernah waktu itu memintal. Dan gue nunjukin hasil pintalan ke bokap gue. Trus tau nggak bokap bue bilang apa, ’Masa udah papa sekolahin jauh-jauh ternyata hasilnya jadi tukang jahit?’, hahahaha..., ” cerita Gita. Cita-cita Gita sebenarnya sederhana. ”Gue pengen jadi ibu rumah tangga yang baik. Nggak mau kerja kalo bisa.” Tapi baginya itu hanya sekedar cita-cita. Dia harus tetap bekerja seperti lulusan kebanyakan. Dia dan Wulan ingin kerja di perusahaan industri. Yuki juga menikmati perannya. Dia bersama temannya mendirikan usaha. Yuki kebagian bidang keuangan. ”Gue sadar gue bagus di angka-angka, dan gue menikmati banget.”
Coba sekilas kita menikmati keromantisan masa lalu. Nur Rahman As’ad lulusan Teknik Mesin angkatan 1990, yang kini berprofesi sebagai Dosen Teknik Industri di Universitas Islam Bandung, bercerita betapa kebersamaan begitu kental. ”Dulu saya tinggal di asrama Kebon Sirih, tempat kami dari Sulawesi Selatan berkumpul, pulang ke kampung halaman bersama, balik ke Bandung pun bersama.” Di tahun 90-an, saat lapangan sepakbola, basket, dan tenis masih berada di tengah kampus, sore sehabis ujian hari Rabu, mahasiswa TPB berkumpul di sana. Tiap sore daerah Student Center (SC), begitu nama Campus Center dahulu, dipenuhi dengan suara gamelan, gendang, teriakan-teriakan mahasiswa yang sedang berolahraga, segala UKM berkumpul dan berkegiatan. Loedroek dan LFM menjadi salah satu hiburan rutin dan murah bagi mahasiswa.
Jika membandingkan dengan zamannya, Nur Rahman tentu melihat perbedaan besar. ”Daya juangnya beda, mungkin karena mahasiswa sekarang lahir di keluarga mapan. Jika saya pulang dari kerja lewat jalan Ganesha, saya lihat tumpukan motor dan mobil di parkiran depan.” Lebih lanjut ia bercerita, bahwa mahasiswa dulu punya keinginan besar dan punya alasan kuat untuk masuk ITB. ”Kami datang dari jauh, hidup dengan uang kiriman seadanya. Dulu ada kantin Tubagus di lokasi pembangunan ruko, depan MCCF di Tubagus dekat Simpang. Pernah satu akhir bulan, ada seorang kawan ngambil lauk lebih dulu, baru ngambil nasi buat nutupin lauknya. Hahaha.”
Kuliah selalu diisisipi dengan pewacanaan sosial atau politik. ”Mungkin karena dulu banyak dosen muda,” ungkap Nur Rahman. Tak heran, saat bendera himpunan atau sebuah organisasi dikibarkan oleh seseorang di depan gerbang, secara spontan mahasiswa berkumpul dan berorasi. Berbeda dengan mahasiswa sekarang. Apa mungkin beban kuliah yang semakin besar? ”Tugas kuliah, sama beratnya saya pikir. Bahkan kami dulu tak pernah dibiarkan mapan dalam belajar. Tapi untuk batas waktu menjadi mahasiswa. Itu memang!” lanjutnya.
Sekarang, begitu banyak yang berubah. Terlepas dari zaman yang berbeda, tentu ada indikasi generasi kedua menjadikan mahasiswa sekarang tidak sama dengan mahasiswa dulu. Tak punya mimpi, berimbas pada daya juang yang semakin menipis. []
------
Boulevard ITB Edisi 57
Oleh Fadilla Tourizqua Zain dan M Arfah D
Boulevard ITB
Seorang alumni Teknik Sipil angkatan '86 menangis. Dia khawatir orang tuanya di Solo tidak makan layak beberapa hari. Sebab uang hasil narik becak bapaknya ditukar dengan sebuah kalkulator.
Bagi mereka yang datang dari berbagai pelosok Indonesia, merantau jadi bukan kata asing lagi. Mereka membawa mimpi dari tempat asal mereka. Keluarga tentu punya harapan besar bahwa anak mereka akan meraih sukses di kampus gajah ini.
Itu dulu. Sekarang, fenomena yang terjadi berbeda. Tidak sedikit mahasiswa ITB yang menyandang status generasi kedua. Alias orang tuanya lulusan ITB. Mereka mau tidak mau dititipi mimpi oleh orang tua mereka. Si generasi pertama. “Secara nggak langsung, yaa emang bokap gue ngarahin gue untuk masuk ITB,” aku Gita Prima Ramadhanti (TL ’04). Orangtuanya adalah alumni ITB angkatan 1978.
Senada seperti yang diakui Gita, temannya, Dyah Wulandari Putri (TL ’04) juga bercerita. “Dari kecil, Ibu bilang untuk mengikuti jalur SMP 5, SMA 3, lalu ITB,” ungkapnya. Wulan, begitu ia akrab disapa, bukan mahasiswa perantau. Dia besar di Bandung. Kedua orang tua Wulan juga jebolan ITB. Ibunya, Endang Juliastuti (ITB’78), kini berprofesi sebagai dosen di Program Studi Fisika Teknik ITB.
Baik Gita maupun Wulan punya keinginan tersendiri sebelum akhirnya kejeblos di ITB. “Dari kelas 2 SMA, waktu gue mau penjurusan. Sebenernya gue pengen masuk IPS, karena gue mau masuk Komunikasi,” kata Gita. Namun keduanya juga bersyukur dengan keadaan mereka sekarang. “Aku emang bukan tipe yang kreatif, yaa ikut aja apa yang dibilang ibu,” kata Wulan. “Kalau gue nggak di sini, mungkin gue udah terdampar di universitas swasta jakarta entah apa, hahaha...,” timpal Gita.
Lain lagi dengan Yuki Hastarina (FA ’02). Dia kini sedang menjalani Tugas Akhir, tapi masih mengutuki diri yang rela masuk jurusan yang tidak diminatinya itu. “Sejak SMA, almarhum bokap gue menyuruh gue masuk ITB. Bukan menyarankan, benar-benar nyuruh. Bahkan waktu mendekati SPMB dia spesifik nyebut satu jurusan. Farmasi.”
Almarhum ayah Yuki adalah lulusan Kimia. ”Waktu itu ayah bilang, kalau masuk Farmasi mungkin saya bisa bantu-bantu di proyeknya.” Yuki sendiri sebenarnya berkeinginan kuliah di Psikologi Unpad. Kalau dipikir, Farmasi ITB dan Psikologi Unpad sedikit banyak kan berhubungan dengan medis, “Gue suka belajar tentang manusia. Tapi bukan tentang anatominya. Gue lebih tertarik dengan sisi psikisnya.” Namun ayahnya saat itu tak kunjung menghiraukan keinginan Yuki. “Bokap emang mendidik anak-anaknya dengan keras. Keinginan gue sepertinya jadi angin lalu aja. Hidup gue seakan-akan tuh dia yang garisin.”
Sadar dengan keadaan, Yuki mencoba melihat-lihat jurusan apa di ITB yang kira-kira cocok untuknya. Tapi Yuki tidak menemukannya. Akhirnya ia pasrah. Kode jurusan Farmasi dan Biologi ITB ia lingkari di formulir SPMB. Keduanya pilihan sang ayah.
Perasaan ‘salah jurusan’ mulai ia rasakan saat lepas dari TPB. Dia sempat cuti kuliah pada semester 6. Inilah titik jenuhnya. Semua rasa bercampur; jenuh dengan kuliah yang tidak ia senangi, kehilangan ayah, dan harus bekerja. “Tapi ada sedikit rasa lega dalam hati saat itu. Satu tekanan hilang.” ungkapnya.
Gita, Wulan, dan Yuki. Bukan berarti mereka tak bisa mengembangkan minat mereka. ”Gue pernah waktu itu memintal. Dan gue nunjukin hasil pintalan ke bokap gue. Trus tau nggak bokap bue bilang apa, ’Masa udah papa sekolahin jauh-jauh ternyata hasilnya jadi tukang jahit?’, hahahaha..., ” cerita Gita. Cita-cita Gita sebenarnya sederhana. ”Gue pengen jadi ibu rumah tangga yang baik. Nggak mau kerja kalo bisa.” Tapi baginya itu hanya sekedar cita-cita. Dia harus tetap bekerja seperti lulusan kebanyakan. Dia dan Wulan ingin kerja di perusahaan industri. Yuki juga menikmati perannya. Dia bersama temannya mendirikan usaha. Yuki kebagian bidang keuangan. ”Gue sadar gue bagus di angka-angka, dan gue menikmati banget.”
Coba sekilas kita menikmati keromantisan masa lalu. Nur Rahman As’ad lulusan Teknik Mesin angkatan 1990, yang kini berprofesi sebagai Dosen Teknik Industri di Universitas Islam Bandung, bercerita betapa kebersamaan begitu kental. ”Dulu saya tinggal di asrama Kebon Sirih, tempat kami dari Sulawesi Selatan berkumpul, pulang ke kampung halaman bersama, balik ke Bandung pun bersama.” Di tahun 90-an, saat lapangan sepakbola, basket, dan tenis masih berada di tengah kampus, sore sehabis ujian hari Rabu, mahasiswa TPB berkumpul di sana. Tiap sore daerah Student Center (SC), begitu nama Campus Center dahulu, dipenuhi dengan suara gamelan, gendang, teriakan-teriakan mahasiswa yang sedang berolahraga, segala UKM berkumpul dan berkegiatan. Loedroek dan LFM menjadi salah satu hiburan rutin dan murah bagi mahasiswa.
Jika membandingkan dengan zamannya, Nur Rahman tentu melihat perbedaan besar. ”Daya juangnya beda, mungkin karena mahasiswa sekarang lahir di keluarga mapan. Jika saya pulang dari kerja lewat jalan Ganesha, saya lihat tumpukan motor dan mobil di parkiran depan.” Lebih lanjut ia bercerita, bahwa mahasiswa dulu punya keinginan besar dan punya alasan kuat untuk masuk ITB. ”Kami datang dari jauh, hidup dengan uang kiriman seadanya. Dulu ada kantin Tubagus di lokasi pembangunan ruko, depan MCCF di Tubagus dekat Simpang. Pernah satu akhir bulan, ada seorang kawan ngambil lauk lebih dulu, baru ngambil nasi buat nutupin lauknya. Hahaha.”
Kuliah selalu diisisipi dengan pewacanaan sosial atau politik. ”Mungkin karena dulu banyak dosen muda,” ungkap Nur Rahman. Tak heran, saat bendera himpunan atau sebuah organisasi dikibarkan oleh seseorang di depan gerbang, secara spontan mahasiswa berkumpul dan berorasi. Berbeda dengan mahasiswa sekarang. Apa mungkin beban kuliah yang semakin besar? ”Tugas kuliah, sama beratnya saya pikir. Bahkan kami dulu tak pernah dibiarkan mapan dalam belajar. Tapi untuk batas waktu menjadi mahasiswa. Itu memang!” lanjutnya.
Sekarang, begitu banyak yang berubah. Terlepas dari zaman yang berbeda, tentu ada indikasi generasi kedua menjadikan mahasiswa sekarang tidak sama dengan mahasiswa dulu. Tak punya mimpi, berimbas pada daya juang yang semakin menipis. []
------
Boulevard ITB Edisi 57
Banalitas Budaya Kampus
Oleh Yasraf Amir Piliang
Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK)
Fakutas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung
Wajah kebudayaan bangsa akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan perubahan ke arah kondisi, yang di dalamnya dirayakan aspek-aspek kebudayaan yang bersifat permukaan. Ruang-ruang kebudayaan dipenuhi oleh berbagai pertunjukan, tontonan, tayangan, representasi dan tindakan-tindakan yang mengeksploitasi berbagai bentuk yang bernilai rendah, banal dan dan tak-esensial.
Ruang-ruang budaya politik, ekonomi, hukum, media, hiburan, pendidikan, bahkan agama dipenuhi oleh berbagai strategi populer atau popularisme, yang menggunakan model-model strategi dan psikologi massa budaya populer, dalam rangka mencari popularitas, menghimpun massa, memenangkan pemilihan, mendapatkan pengikut, meningkatkan rating atau mencari keuntungan—popular strategies.
Kecenderungan ke arah strategi populer di dalam kebudayaan bangsa, termasuk budaya kampus, telah menggiring ke arah pendangkalan dan banalitas di dalam budaya politik, hukum, media, pendidikan, bahkan agama. Di dalam banalitas itu, iklan politik tidak dapat dibedakan lagi dari iklan sabun mandi; lembaga pendidikan tidak dapat dibedakan lagi dari agen-agen perjalanan; ceramah agama tidak dapat dibedakan lagi dari pertunjukan musik panggung;
Dengan sifat permukaannya, aktivitas-aktivitas kebudayaan lebih cenderung mengeksploitasi berbagai bentuk histeria massa (mass histeria), yaitu strategi memanipulasi emosi massa, sehingga mencapai kondisi puncak tak terkendali atau ekstasi, yang diperlihatkan dalam berbagai bentuk teriakan, tangisan atau kesedihan massa, baik dalam aktivitas politik, tontonan media, atau ritual keagamaan.
Di dalam ruang kebudayaan berlangsung sebuah proses pembalikan cultural (cultural reversal), yaitu proses ‘pengesensialan yang banal’, dan sebaliknya’ banalisasi yang esensial’. Segala yang tak-esensial—tetapi menghibur, menyenangkan, mempesona, dan menghanyutkan—mendapatkan ruang yang mewah di dalam media-media kebudayaan; sebaliknya, segala yang esensial—yang berguna dalam rangka pembangunan kreativitas bangsa, karakter bangsa (character building) dan pendidikan publik—justru tidak mendapatkan ruang hidupnya—the banality of culture.
***
Theodor Adorno, di dalam The Culture Industry (1991) mengatakan, bahwa kebudayaan yang dibangun mengikuti model-model budaya komoditi (culture industry), termasuk budaya kampus, hanya menghasilkan wujud-wujud kebudayaan yang dangkal, yang di dalamnya lebih dipentingkan daya tarik, keterpesonaan dan ekstasi massa yang bersifat temporer, dengan mengeksploitasi berbagai fetishism, untuk memenuhi hasrat rendah (desire) manusia, di antaranya adalah seks, kekerasan dan mistik.
Kebudayaan dalam format budaya massa cenderung dikendalikan oleh sekelompok elit (produsen, pengusaha, media), yang dalam rangka menarik massa yang luas, menciptakan bentuk-bentuk kebudayaan yang dapat dipahami dengan mudah oleh massa, sehingga ia cenderung bergantung pada bentuk-bentuk kebudayaan yang ringan, enteng, mudah, menghibur, menarik perhatian (eye catching) dan menimbulkan pesona—inilah banalitas kebudayaan.
Banalitas politik (banality of politics) telah menciptakan ruang-ruang publik politik yang dipenuhi oleh segala sesuatu yang bersifat permukaan, dangkal dan populer, yang tidak konstruktif bagi pendidikan publik politik. Berbagai keputusan politik (pilihan politik, kebijakan politik, strategi politik) sangat dibentuk oleh sifat populerisme ini, sehingga menggiring ke arah ‘pengkerdilan politik’, yang kini menggantungkan hidupnya pada citra permukaan dan populerisme tokoh.
Banalitas media (banality of media) telah menciptakan ruang-ruang media yang dipenuhi oleh berbagai fetishism bintang, tubuh, obyek, kekerasan dan mistik, yang motif utamanya adalah menciptakan kepuasan (jouissance) demi keuntungan, bukan pendidikan publik. Berbagai acara tontonan sinetron, kuis, reality show dan mistis menyedot habis-habisan kesadaran massa, yang digiring ke alam histeria, keterpesonaan dan kecanduan, sehingga tidak mempunyai ruang bagi pengembangan diri dan perenungan eksistensi.
Banalitas ekonomi (banality of economy) menciptakan ruang-ruang ekonomi yang dipenuhi oleh berbagai komoditi yang lebih banyak mengeksploitasi nilai tanda (sign value) dan libido (libidinal value), ketimbang nilai guna (use value); mengeksploitasi hasrat ketimbang kebutuhan. Berbagai produk—mobil, hand phone, kamera, pakaian—telah menggiring orang ke dalam ekstasi pergantian penampakan atau gayanya tanpa henti, yang sesungguhnya tidak esensial dibandingkan nilai-nilai gunanya, tapi kini dianggap penting.
Banalitas budaya kampus telah menciptakan lingkungan kampus, yang di dalamnya ruang-ruang kampus tidak ubahnya seperti ‘shop display’, yang di dalamnya mahasiswa lebih senang, di satu pihak, menampilkan gaya pakaian, gaya bicara, gaya handphone, gaya mobil, gaya tongkrongan, sebagai cara untuk menampilkan status, prestise, dan kelas, ketimbang mengejar pengetahuan; di pihak lain, tenggelam dalam mengejar tugas, nilai, dan kelulusan, tetapi tidak punya waktu dan keinginan untuk bersosialisasi dan bergaul di dalam kehidupan nyata (sosial, politik, kultural, spiritual).
Banalitas kampus telah menciptakan ruang-ruang kampus, yang telah berbaur dengan ruang-ruang budaya populer dan gaya hidup. Aktivitas-aktivitas kampus, di satu pihak, kini mengikuti model-model ekspresi budaya populer: kuliah di sebuah cafe, yang menyediakan door prize, studi banding (baca: jalan-jalan) yang disponsori perusahaan; di pihak lain, mengikuti model asylum, di mana mahasiswa dikondisikan hidup di dalam sebuah ruang ‘steril’, yang tidak ada kontak dengan masyarakat umum, dan persoalan sosial nyata.
***
Banalitas budaya kampus menciptakan anak bangsa sebagai manusia yang cenderung ‘hanyut’ di dalam apa-apa yang ditawarkan padanya (tontonan, produk, kesenangan, gaya, gaya hidup), tanpa mampu lagi mengembangkan daya kritis dalam dirinya. Inilah manusia yang digambarkan Baudrillard, In the Shadow of the Silent Majorities (1983), sebagai manusia fatalis, yang tidak berdaya di dalam kekuasaan sistem (obyek, tontonan, media, citra), dan hanyut di dalam logikanya—homo fatalis.
Manusia kampus sebagai manusia fatalis terserap ke dalam berbagai dunia (TV, fashion, komoditi, gaya hidup) yang bersifat permukaan, dan tidak dapat melepaskan diri darinya. Di dalamnya ia menjadi mayoritas yang diam (the silent majorities), yang tak mampu melakukan kritik dan refleksi, yang hanya dapat menyerap segala sesuatu, tanpa mampu menginternalisasikan dan memaknainya.
Manusia kampus adalah manusia penikmat (gaya, pengetahuan, teori), ketimbang pencipta, konsumer ketimbang produser. Budaya kampus yang dibangun oleh manusia fatalis adalah kebudayaan yang tidak produktif, yang hanya menghasilkan ‘budaya konsumerisme’. Inilah anak bangsa yang menghabiskan hidupnya, di satu pihak, untuk mencari nilai, gelar dan kelulusan; di pihak lain kepuasaan, keterpesonaan dan kesenangan, dan tidak punya waktu lagi untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan lainnya: intelektualitas, produktivitas, sosialitas, spiritualitas dan religiusitas.
Manusia fatalis adalah manusia yang sebagian besar ruang-waktunya dihabiskan di dalam banalitas layar (televisi, video game, chating, video), dan terserap ke dalam logika layar tersebut. Ia menerima secara tidak kritis gelombang citra-citra simulasi yang menyerang dirinya dari segala arah, sebagai cara ia memaknai hidupnya. Padahal, semuanya merupakan lukisan palsu tentang dirinya yang sebenarnya (true self), disebakan ia tidak mempunyai lagi daya resistensi dan daya kritis dalam menghadapi dunia banalitas tersebut.
Dalam meneropong arah budaya kampus di masa depan, harus ada upaya-upaya untuk menghentikan dominasi banalitas, popularisme, sifat steril dan asylum budaya kampus. Berbagai upaya untuk menciptakan budaya tanding (counter culture) harus digalang, dalam rangka menciptakan wajah kebudayaan yang lebih produktif, substantif, humanis, dan bermakna, yang di dalamnya manusia tidak lagi menjadi ‘subyek pasif’ kebudayaan, melainkan ‘subyek aktif’, yang mampu secara aktif, dinamis dan kreatif membangun dunia kebudayaannya sendiri.
Untuk itu, di masa depan yang dibutuhkan dalam rangka pembangunan budaya kampus yang lebih humanis, bermakna dan luhur adalah ‘manusia aktivis’, yaitu manusia yang mempunyai daya kritis, daya kreativitas, jiwa kepeloporan, keinginan berprestasi, hasrat inovasi, dan jiwa kosmopolitan, yang secara bersama-sama mampu membangun sebuah masyarakat yang tidak lagi dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar (kapitalisme, globalisasi), tetapi secara kreatif mampu memproduksi kebudayaan sendiri—self producing society.
------
Boulevard ITB Edisi 57
Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK)
Fakutas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung
Wajah kebudayaan bangsa akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan perubahan ke arah kondisi, yang di dalamnya dirayakan aspek-aspek kebudayaan yang bersifat permukaan. Ruang-ruang kebudayaan dipenuhi oleh berbagai pertunjukan, tontonan, tayangan, representasi dan tindakan-tindakan yang mengeksploitasi berbagai bentuk yang bernilai rendah, banal dan dan tak-esensial.
Ruang-ruang budaya politik, ekonomi, hukum, media, hiburan, pendidikan, bahkan agama dipenuhi oleh berbagai strategi populer atau popularisme, yang menggunakan model-model strategi dan psikologi massa budaya populer, dalam rangka mencari popularitas, menghimpun massa, memenangkan pemilihan, mendapatkan pengikut, meningkatkan rating atau mencari keuntungan—popular strategies.
Kecenderungan ke arah strategi populer di dalam kebudayaan bangsa, termasuk budaya kampus, telah menggiring ke arah pendangkalan dan banalitas di dalam budaya politik, hukum, media, pendidikan, bahkan agama. Di dalam banalitas itu, iklan politik tidak dapat dibedakan lagi dari iklan sabun mandi; lembaga pendidikan tidak dapat dibedakan lagi dari agen-agen perjalanan; ceramah agama tidak dapat dibedakan lagi dari pertunjukan musik panggung;
Dengan sifat permukaannya, aktivitas-aktivitas kebudayaan lebih cenderung mengeksploitasi berbagai bentuk histeria massa (mass histeria), yaitu strategi memanipulasi emosi massa, sehingga mencapai kondisi puncak tak terkendali atau ekstasi, yang diperlihatkan dalam berbagai bentuk teriakan, tangisan atau kesedihan massa, baik dalam aktivitas politik, tontonan media, atau ritual keagamaan.
Di dalam ruang kebudayaan berlangsung sebuah proses pembalikan cultural (cultural reversal), yaitu proses ‘pengesensialan yang banal’, dan sebaliknya’ banalisasi yang esensial’. Segala yang tak-esensial—tetapi menghibur, menyenangkan, mempesona, dan menghanyutkan—mendapatkan ruang yang mewah di dalam media-media kebudayaan; sebaliknya, segala yang esensial—yang berguna dalam rangka pembangunan kreativitas bangsa, karakter bangsa (character building) dan pendidikan publik—justru tidak mendapatkan ruang hidupnya—the banality of culture.
***
Theodor Adorno, di dalam The Culture Industry (1991) mengatakan, bahwa kebudayaan yang dibangun mengikuti model-model budaya komoditi (culture industry), termasuk budaya kampus, hanya menghasilkan wujud-wujud kebudayaan yang dangkal, yang di dalamnya lebih dipentingkan daya tarik, keterpesonaan dan ekstasi massa yang bersifat temporer, dengan mengeksploitasi berbagai fetishism, untuk memenuhi hasrat rendah (desire) manusia, di antaranya adalah seks, kekerasan dan mistik.
Kebudayaan dalam format budaya massa cenderung dikendalikan oleh sekelompok elit (produsen, pengusaha, media), yang dalam rangka menarik massa yang luas, menciptakan bentuk-bentuk kebudayaan yang dapat dipahami dengan mudah oleh massa, sehingga ia cenderung bergantung pada bentuk-bentuk kebudayaan yang ringan, enteng, mudah, menghibur, menarik perhatian (eye catching) dan menimbulkan pesona—inilah banalitas kebudayaan.
Banalitas politik (banality of politics) telah menciptakan ruang-ruang publik politik yang dipenuhi oleh segala sesuatu yang bersifat permukaan, dangkal dan populer, yang tidak konstruktif bagi pendidikan publik politik. Berbagai keputusan politik (pilihan politik, kebijakan politik, strategi politik) sangat dibentuk oleh sifat populerisme ini, sehingga menggiring ke arah ‘pengkerdilan politik’, yang kini menggantungkan hidupnya pada citra permukaan dan populerisme tokoh.
Banalitas media (banality of media) telah menciptakan ruang-ruang media yang dipenuhi oleh berbagai fetishism bintang, tubuh, obyek, kekerasan dan mistik, yang motif utamanya adalah menciptakan kepuasan (jouissance) demi keuntungan, bukan pendidikan publik. Berbagai acara tontonan sinetron, kuis, reality show dan mistis menyedot habis-habisan kesadaran massa, yang digiring ke alam histeria, keterpesonaan dan kecanduan, sehingga tidak mempunyai ruang bagi pengembangan diri dan perenungan eksistensi.
Banalitas ekonomi (banality of economy) menciptakan ruang-ruang ekonomi yang dipenuhi oleh berbagai komoditi yang lebih banyak mengeksploitasi nilai tanda (sign value) dan libido (libidinal value), ketimbang nilai guna (use value); mengeksploitasi hasrat ketimbang kebutuhan. Berbagai produk—mobil, hand phone, kamera, pakaian—telah menggiring orang ke dalam ekstasi pergantian penampakan atau gayanya tanpa henti, yang sesungguhnya tidak esensial dibandingkan nilai-nilai gunanya, tapi kini dianggap penting.
Banalitas budaya kampus telah menciptakan lingkungan kampus, yang di dalamnya ruang-ruang kampus tidak ubahnya seperti ‘shop display’, yang di dalamnya mahasiswa lebih senang, di satu pihak, menampilkan gaya pakaian, gaya bicara, gaya handphone, gaya mobil, gaya tongkrongan, sebagai cara untuk menampilkan status, prestise, dan kelas, ketimbang mengejar pengetahuan; di pihak lain, tenggelam dalam mengejar tugas, nilai, dan kelulusan, tetapi tidak punya waktu dan keinginan untuk bersosialisasi dan bergaul di dalam kehidupan nyata (sosial, politik, kultural, spiritual).
Banalitas kampus telah menciptakan ruang-ruang kampus, yang telah berbaur dengan ruang-ruang budaya populer dan gaya hidup. Aktivitas-aktivitas kampus, di satu pihak, kini mengikuti model-model ekspresi budaya populer: kuliah di sebuah cafe, yang menyediakan door prize, studi banding (baca: jalan-jalan) yang disponsori perusahaan; di pihak lain, mengikuti model asylum, di mana mahasiswa dikondisikan hidup di dalam sebuah ruang ‘steril’, yang tidak ada kontak dengan masyarakat umum, dan persoalan sosial nyata.
***
Banalitas budaya kampus menciptakan anak bangsa sebagai manusia yang cenderung ‘hanyut’ di dalam apa-apa yang ditawarkan padanya (tontonan, produk, kesenangan, gaya, gaya hidup), tanpa mampu lagi mengembangkan daya kritis dalam dirinya. Inilah manusia yang digambarkan Baudrillard, In the Shadow of the Silent Majorities (1983), sebagai manusia fatalis, yang tidak berdaya di dalam kekuasaan sistem (obyek, tontonan, media, citra), dan hanyut di dalam logikanya—homo fatalis.
Manusia kampus sebagai manusia fatalis terserap ke dalam berbagai dunia (TV, fashion, komoditi, gaya hidup) yang bersifat permukaan, dan tidak dapat melepaskan diri darinya. Di dalamnya ia menjadi mayoritas yang diam (the silent majorities), yang tak mampu melakukan kritik dan refleksi, yang hanya dapat menyerap segala sesuatu, tanpa mampu menginternalisasikan dan memaknainya.
Manusia kampus adalah manusia penikmat (gaya, pengetahuan, teori), ketimbang pencipta, konsumer ketimbang produser. Budaya kampus yang dibangun oleh manusia fatalis adalah kebudayaan yang tidak produktif, yang hanya menghasilkan ‘budaya konsumerisme’. Inilah anak bangsa yang menghabiskan hidupnya, di satu pihak, untuk mencari nilai, gelar dan kelulusan; di pihak lain kepuasaan, keterpesonaan dan kesenangan, dan tidak punya waktu lagi untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan lainnya: intelektualitas, produktivitas, sosialitas, spiritualitas dan religiusitas.
Manusia fatalis adalah manusia yang sebagian besar ruang-waktunya dihabiskan di dalam banalitas layar (televisi, video game, chating, video), dan terserap ke dalam logika layar tersebut. Ia menerima secara tidak kritis gelombang citra-citra simulasi yang menyerang dirinya dari segala arah, sebagai cara ia memaknai hidupnya. Padahal, semuanya merupakan lukisan palsu tentang dirinya yang sebenarnya (true self), disebakan ia tidak mempunyai lagi daya resistensi dan daya kritis dalam menghadapi dunia banalitas tersebut.
Dalam meneropong arah budaya kampus di masa depan, harus ada upaya-upaya untuk menghentikan dominasi banalitas, popularisme, sifat steril dan asylum budaya kampus. Berbagai upaya untuk menciptakan budaya tanding (counter culture) harus digalang, dalam rangka menciptakan wajah kebudayaan yang lebih produktif, substantif, humanis, dan bermakna, yang di dalamnya manusia tidak lagi menjadi ‘subyek pasif’ kebudayaan, melainkan ‘subyek aktif’, yang mampu secara aktif, dinamis dan kreatif membangun dunia kebudayaannya sendiri.
Untuk itu, di masa depan yang dibutuhkan dalam rangka pembangunan budaya kampus yang lebih humanis, bermakna dan luhur adalah ‘manusia aktivis’, yaitu manusia yang mempunyai daya kritis, daya kreativitas, jiwa kepeloporan, keinginan berprestasi, hasrat inovasi, dan jiwa kosmopolitan, yang secara bersama-sama mampu membangun sebuah masyarakat yang tidak lagi dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar (kapitalisme, globalisasi), tetapi secara kreatif mampu memproduksi kebudayaan sendiri—self producing society.
------
Boulevard ITB Edisi 57
Thursday, April 12, 2007
ITB Tak Menjamumu Hari Ini!
Oleh M Arfah D
Sabtu, 7 April 2007
Kampus terbuka hanya untuk yang membawa undangan kuliah umum Wakil Presiden RI.
Kalimat di atas tertera jelas pada kertas putih yang digantung di tiap pintu masuk kampus Institut Teknologi Bandung. Jalan Ganesha lengang. Kedua sisi persimpangannya ditutup oleh deretan motor dan mobil dari Kapolwiltabes. Paspamres yang didelegasikan oleh TNI Angkatan Darat memasuki kampus, menjaga ketat gerbang utara dan Aula Barat, tempat saat Jusuf Kalla memberikan kuliah umum Penyelesaian Konflik di Indonesia. Ada satu meja depan di sebelah kanan gerbang utama. Di belakangnya duduk dua petugas dari Kesatuan Keamanan Kampus. Jika Anda bukan undangan, sekalipun Anda mahasiswa atau dosen ITB yang berniat masuk bukan untuk melihat kumis Pak Jusuf dan mendengarnya berbicara di podium, jelas Anda dilarang oleh dua petugas tersebut. Anda hanya bisa tersudut di Taman Ganesha dan Mesjid Salman, sebab hari itu, kampus ITB menjadi wilayah privat Wakil Presiden dan undangannya.
Heran, kini kuliah umum harus dihadiri dengan membawa undangan. Jelas undangannya tentu orang-orang pilihan. Maka orang pintar pun akan semakin menjadi pintar. Parahnya, kampus dipilih menjadi tempat acara, yang kemudian menjadi seperti lokasi pernikahan. Pagi itu, sekitar 77 mahasiswa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) angkatan 2006 terpaksa ujian matakuliah Biologi Umum di selasar Gedung Kayu Salman, dengan gelaran tikar dan pemandangan orang lalu lalang. Puri Artha Widhiasi (BI’04) sebagai salah satu koordinator ujian ditolak masuk untuk mengadakan ujian pukul 09.00 di tiga ruangan di Labtek Biru yang telah direncanakan sebelumnya. Dia diperintahkan untuk membawa surat ijin yang pun petugasnya tidak menjelaskan secara rinci bagaimana cara memperoleh surat tersebut. Hingga akhirnya, ujian dilaksanakan, molor 30 menit, setelah perdebatan menghasilkan keputusan bahwa satu dosen diperbolehkan masuk hanya untuk mengambil soal ujian dengan dikawal dua petugas.
Tak hanya mahasiswa SITH yang dirugikan, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan pun mengalami hal yang tidak lebih baik. ”Kami ke kampus untuk praktikum Komputer dan Pemrograman, dan tidak satu pun dari kami yang diperbolehkan masuk dengan alasan yang tidak jelas,” kata Kartika Rahma (FTSL’06). Proyek Khusus yang sedang dijalankan oleh sebagian mahasiswa Kimia angkatan 2004 pun harus mengalami kendala. Iis Fatmawati (KI’04) menyesalkan kedatangan Pak Jusuf yang memberikan dampak besar bagi prosedur praktikum mereka. Dan mahasiswa yang sedang penelitian untuk Tugas Akhir dan mesti berada di laboratorium hari itu, entah kini apa yang terjadi pada mereka.
Kedatangan Jusuf Kalla ke kampus ITB untuk kuliah umum selama dua jam, dari pukul 13.00 hingga 15.00, merupakan satu pukulan hebat bagi masyarakat kampus, khususnya mahasiswa. Penjagaan ketat yang dilakukan sedari pagi, dan pembersihan jalan Ganesha dari rakyat biasa membuat mahasiswa garang. Seminar Nasional Quo Vadis Kemandirian Bangsa Indonesia diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa (KM) ITB dan Forum Kajian Filsafat Bandung, yang sebelumnya direncanakan di Campus Center ITB dialihkan ke Gedung Sasana Budaya (Sabuga) ITB. Bahkan, informan yang lolos masuk ke kampus ITB secara tak sengaja, memberitahukan mesin ATM di dalam kampus semua dimatikan, dan hampir semua WC ditutup. Entah ketakutan semacam apa yang sedang menghinggapi pemerintah, atau Jusuf Kalla pribadi.
Sempat ada dugaan Dwi A. Nugroho, Presiden KM ITB periode 2006-2007, terlibat dalam penutupan kampus. Anni Nuraeni (TL’04), Manajer SDM Sosial Politik, menegaskan Dwi tidak ada sangkut pautnya, dan saat dihubungi, Dwi sedang menghadiri Seminar Nasional di Sabuga bersama Amien Rais. Sebagian mahasiswa yang terpojok di pagar Mesjid Salman ingin beraksi sebagai bentuk penunjukkan sikap. Zulkaida Akbar (FI’03), yang akan menjadi pengganti Dwi untuk periode selanjutnya, mengundang Pak Djaji berbincang dan berbicara di hadapan mahasiswa, ”Tidak perlu kalian mencari persoalan lain, dan untuk hal ini, rektorat tak bisa ikut campur.” Pak Mashudi sebagai koordinator lapangan Kapolwiltabes mengatakan ia dan pasukannya bertugas untuk mengisolasi wilayah acara, tidak lebih. Izul, bersama mahasiswa lainnya, berencana melakukan sesuatu, tapi tertahan oleh hujan.
Selebaran untuk pengadaan aksi datang dari sudut lain. Sehabis Dhuhur, puluhan mahasiswa muncul, mengenakan jas almamater, dan mengusung bendera KM ITB. Mereka berkumpul di Gelap Nyawang dan berorasi. Terlihat Army Al-Ghifary (MS’04) menjadi salah satu komando lapangan. Dalam orasinya, mereka menggugat pemerintahan SBY-JK yang tidak memberi perubahan.
Seperti dalam kisah, peristiwa ini meninggalkan kekesalan yang tak terjawab. Yang pasti hari itu, mahasiswa ITB hanya mampu memandang gerbang kampusnya lewat pagar betis barisan polisi.**
Sabtu, 7 April 2007
Kampus terbuka hanya untuk yang membawa undangan kuliah umum Wakil Presiden RI.
Kalimat di atas tertera jelas pada kertas putih yang digantung di tiap pintu masuk kampus Institut Teknologi Bandung. Jalan Ganesha lengang. Kedua sisi persimpangannya ditutup oleh deretan motor dan mobil dari Kapolwiltabes. Paspamres yang didelegasikan oleh TNI Angkatan Darat memasuki kampus, menjaga ketat gerbang utara dan Aula Barat, tempat saat Jusuf Kalla memberikan kuliah umum Penyelesaian Konflik di Indonesia. Ada satu meja depan di sebelah kanan gerbang utama. Di belakangnya duduk dua petugas dari Kesatuan Keamanan Kampus. Jika Anda bukan undangan, sekalipun Anda mahasiswa atau dosen ITB yang berniat masuk bukan untuk melihat kumis Pak Jusuf dan mendengarnya berbicara di podium, jelas Anda dilarang oleh dua petugas tersebut. Anda hanya bisa tersudut di Taman Ganesha dan Mesjid Salman, sebab hari itu, kampus ITB menjadi wilayah privat Wakil Presiden dan undangannya.
Heran, kini kuliah umum harus dihadiri dengan membawa undangan. Jelas undangannya tentu orang-orang pilihan. Maka orang pintar pun akan semakin menjadi pintar. Parahnya, kampus dipilih menjadi tempat acara, yang kemudian menjadi seperti lokasi pernikahan. Pagi itu, sekitar 77 mahasiswa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) angkatan 2006 terpaksa ujian matakuliah Biologi Umum di selasar Gedung Kayu Salman, dengan gelaran tikar dan pemandangan orang lalu lalang. Puri Artha Widhiasi (BI’04) sebagai salah satu koordinator ujian ditolak masuk untuk mengadakan ujian pukul 09.00 di tiga ruangan di Labtek Biru yang telah direncanakan sebelumnya. Dia diperintahkan untuk membawa surat ijin yang pun petugasnya tidak menjelaskan secara rinci bagaimana cara memperoleh surat tersebut. Hingga akhirnya, ujian dilaksanakan, molor 30 menit, setelah perdebatan menghasilkan keputusan bahwa satu dosen diperbolehkan masuk hanya untuk mengambil soal ujian dengan dikawal dua petugas.
Tak hanya mahasiswa SITH yang dirugikan, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan pun mengalami hal yang tidak lebih baik. ”Kami ke kampus untuk praktikum Komputer dan Pemrograman, dan tidak satu pun dari kami yang diperbolehkan masuk dengan alasan yang tidak jelas,” kata Kartika Rahma (FTSL’06). Proyek Khusus yang sedang dijalankan oleh sebagian mahasiswa Kimia angkatan 2004 pun harus mengalami kendala. Iis Fatmawati (KI’04) menyesalkan kedatangan Pak Jusuf yang memberikan dampak besar bagi prosedur praktikum mereka. Dan mahasiswa yang sedang penelitian untuk Tugas Akhir dan mesti berada di laboratorium hari itu, entah kini apa yang terjadi pada mereka.
Kedatangan Jusuf Kalla ke kampus ITB untuk kuliah umum selama dua jam, dari pukul 13.00 hingga 15.00, merupakan satu pukulan hebat bagi masyarakat kampus, khususnya mahasiswa. Penjagaan ketat yang dilakukan sedari pagi, dan pembersihan jalan Ganesha dari rakyat biasa membuat mahasiswa garang. Seminar Nasional Quo Vadis Kemandirian Bangsa Indonesia diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa (KM) ITB dan Forum Kajian Filsafat Bandung, yang sebelumnya direncanakan di Campus Center ITB dialihkan ke Gedung Sasana Budaya (Sabuga) ITB. Bahkan, informan yang lolos masuk ke kampus ITB secara tak sengaja, memberitahukan mesin ATM di dalam kampus semua dimatikan, dan hampir semua WC ditutup. Entah ketakutan semacam apa yang sedang menghinggapi pemerintah, atau Jusuf Kalla pribadi.
Sempat ada dugaan Dwi A. Nugroho, Presiden KM ITB periode 2006-2007, terlibat dalam penutupan kampus. Anni Nuraeni (TL’04), Manajer SDM Sosial Politik, menegaskan Dwi tidak ada sangkut pautnya, dan saat dihubungi, Dwi sedang menghadiri Seminar Nasional di Sabuga bersama Amien Rais. Sebagian mahasiswa yang terpojok di pagar Mesjid Salman ingin beraksi sebagai bentuk penunjukkan sikap. Zulkaida Akbar (FI’03), yang akan menjadi pengganti Dwi untuk periode selanjutnya, mengundang Pak Djaji berbincang dan berbicara di hadapan mahasiswa, ”Tidak perlu kalian mencari persoalan lain, dan untuk hal ini, rektorat tak bisa ikut campur.” Pak Mashudi sebagai koordinator lapangan Kapolwiltabes mengatakan ia dan pasukannya bertugas untuk mengisolasi wilayah acara, tidak lebih. Izul, bersama mahasiswa lainnya, berencana melakukan sesuatu, tapi tertahan oleh hujan.
Selebaran untuk pengadaan aksi datang dari sudut lain. Sehabis Dhuhur, puluhan mahasiswa muncul, mengenakan jas almamater, dan mengusung bendera KM ITB. Mereka berkumpul di Gelap Nyawang dan berorasi. Terlihat Army Al-Ghifary (MS’04) menjadi salah satu komando lapangan. Dalam orasinya, mereka menggugat pemerintahan SBY-JK yang tidak memberi perubahan.
Seperti dalam kisah, peristiwa ini meninggalkan kekesalan yang tak terjawab. Yang pasti hari itu, mahasiswa ITB hanya mampu memandang gerbang kampusnya lewat pagar betis barisan polisi.**
Tuesday, April 03, 2007
Kelas Jurnalisme
Di saat orang-orang bergembira merayakan wisuda 3 Maret kemarin, kami di Campus Center juga bersenang-senang dalam Kelas Jurnalisme Boulevard.
Ini adalah kelas kecil-kecilan dengan tujuan memperkenalkan apa-itu-jurnalisme kepada teman-teman di kampus. Sengaja ingin kecil saja, supaya kelasnya bisa berlangsung dengan fokus dan akrab. Santai. Niatnya memang mengadaptasi model kursus Jurnalisme Sastrawi di Pantau.
Tapi ternyata yang datang banyaaak sekali -- sampai-sampai tidak terlihat :) Total yang bisa tertangkap kamera hanya dua saja: Wan Intan (kiri) dan Rizky Diah (kanan bawah).
Kami pertama-tama mendiskusikan resensi Andreas Harsono soal Sembilan Elemen Jurnalisme (yang ditulis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, 2001), lalu menghubungkannya dengan kenyataan sehari-hari. Pertanyaan klasik juga dibahas: apakah infotainment itu jurnalisme? Haha.
Kemudian soal wawancara. Berapa banyak kata sih idealnya dalam satu pertanyaan? Makin sedikit rupanya makin baik. Kalau terlalu panjang, malah bikin bingung narasumber.
Keesokan harinya, kami berlanjut ke tulisan. Tentang perbedaan hard news dan feature. Kelebihan dan kekurangan masing-masing. Perbedaan struktur antara keduanya. (Kalau hard news lebih berita, maka feature lebih cerita.)
Wan Intan dan Rizky bilang, kelas kecil-kecilan ini lumayan menarik. Suasananya santai. Kalau ada yang kurang, maka itu terletak pada pembicaranya yang cuma satu. Membosankan mungkin hahahaha.
Ini adalah kelas kecil-kecilan dengan tujuan memperkenalkan apa-itu-jurnalisme kepada teman-teman di kampus. Sengaja ingin kecil saja, supaya kelasnya bisa berlangsung dengan fokus dan akrab. Santai. Niatnya memang mengadaptasi model kursus Jurnalisme Sastrawi di Pantau.
Tapi ternyata yang datang banyaaak sekali -- sampai-sampai tidak terlihat :) Total yang bisa tertangkap kamera hanya dua saja: Wan Intan (kiri) dan Rizky Diah (kanan bawah).
Kami pertama-tama mendiskusikan resensi Andreas Harsono soal Sembilan Elemen Jurnalisme (yang ditulis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, 2001), lalu menghubungkannya dengan kenyataan sehari-hari. Pertanyaan klasik juga dibahas: apakah infotainment itu jurnalisme? Haha.
Kemudian soal wawancara. Berapa banyak kata sih idealnya dalam satu pertanyaan? Makin sedikit rupanya makin baik. Kalau terlalu panjang, malah bikin bingung narasumber.
Keesokan harinya, kami berlanjut ke tulisan. Tentang perbedaan hard news dan feature. Kelebihan dan kekurangan masing-masing. Perbedaan struktur antara keduanya. (Kalau hard news lebih berita, maka feature lebih cerita.)
Wan Intan dan Rizky bilang, kelas kecil-kecilan ini lumayan menarik. Suasananya santai. Kalau ada yang kurang, maka itu terletak pada pembicaranya yang cuma satu. Membosankan mungkin hahahaha.
Thursday, July 27, 2006
Terror Marketing
Posisioning paling cepat menyebar saat ini adalah hanya berupa satu kata. Teror. Teror juga terorisme sebagai bentuk kata kerja. Pendekatan global yang dimulai dari (atau dipasarkan untuk seolah dimulai dari) para pejuang berdasar agama. Banyak pula berkata akar sebenarnya adalah ketidakseimbangan. Jurang tajam antara perlakuan negara maju terhadap negara berkembang. Yang mana yang berkata benar? Disinilah pentingnya pemasaran modern terhadap perang informasi. Pentingnya pembentukan persepsi pada benak dan imaji tiap individu yang unik menjadi sama rata. Sebenarnya kampanye teror adalah produk lama. Sama halnya ketika Unilever ingin menjual pepsodent-nya di Nusantara. Yang perlu dikomunikasikan, dulu hingga sekarang, adalah menciptakan satu ‘teror’. Penciptaan sebuah karakter yang bisa dipersepsi sebagai musuh bersama, yaitu plak dan karang gigi. Suatu pendekatan komunikasi ber-basis keuntungan kesehatan (health benefit). Karakterisasi musuh bersama ini menjadi senjata ampuh yang bisa dipakai, karena sikap solidaritas manusia sebagai mahluk sosial. Terutama pula budaya Indonesia yang konon selalu menjunjung kebersamaan.
Namun ternyata dikotomi Barat dan Timur tidak selamanya membuat aman pikiran kita. Barat pun kini juga dilanda demam kebersamaan. Bersama untuk dibuat takut. Dan bersama untuk dipersepsikan sebagai manusia unggul yang memperoleh kebebasan (freedom) dan harus berjuang memberantas siapapun yang berusaha mengambil kebebasan itu dengan kuasa ketakutan. Terpatri jelas dalam marmer megah di Arlington dan Washington, Fredoom Is Not Free. Kira-kira jiwa inilah yang terpaku juga di kalangan pemasar kontemporer, bahwa berjuang untuk membebaskan pikiran konsumen dari produk kompetitor, dan juga menjaganya, adalah tidak murah. Triliun rupiah dikucurkan sebagai belanja iklan. Promosi lini bawah terus digenjot, dan kadang perlu berjibaku untuk mendapatkan perhatian konsumen yang tidak loyalis.
Teror di Sekitar Kita
Kampanye liberasi terhadap mereka yang meng-oposisi kebebasan dipenetrasikan dengan gamblang dan kontinyu. Teror sesungguhnya tidak hanya melalui bom bunuh diri. Teror ada di mana-mana. Tengoklah sekeliling. Tak luput secara visual kita mengalami teror busana, teror belahan dada, teror sinetron punjabi, teror orasi Bu Mega, teror musik dan sebutkan teror lainnya. Apa yang baik diolah menjadi buruk. Dan perilaku buruk seolah ter-benarkan. Sangat bergantung dari sisi mana kita melihat dan akan berpihak. Inilah kampanye paling masif yang di alami masyarakat urban dengan konsumsinya. Consumption ergo sum. Dan karena fesyen, gaya hidup, maka identitas pembeda kita ada.
Kampanye Timur Tengah
Lalu apa yang kita lihat saat ini di Timur Tengah? Perjuangan memenangkan sebuah pertarungan sesungguhnya bukan berdasar pada pergerakan Merkava dan Fighter Type-16. Bukan. Barang besi itu hanyalah alat, sebagai sebuah komunikasi lini bawah. Dimana mereka melakukan suatu demonstrasi produk berupa unjuk kekuatan fitur-fitur penyangga unggul dari Demokrasi Barat. Komunikasi sesungguhnya adalah penetrasi media barat dan pernyataan berulang Dan Gillerman bahwa ini adalah bagian dari Kampanye Perang Melawan Teror. Condi pun berkeliling bola bumi. Meyakinkan semua orang bahwa para moderat adalah idola yang harus dikirimi sms dukungan. Dan para pemilik label ekstremis adalah mereka yang harus disemprot diklorvos jika Perdamaian Yang Berkelanjutan ingin dicapai. Musuh bersama jelas telah tercipta. Belum dihitung dengan penetrasi posisioning bahwa bikini adalah lumrah, pakaian tertutup itu kebodohan dan pengekangan, prostitusi wajar asal legal, ekonomi tentu kuat jika tenaga kerja murah dijual pada negara maju (dengan dalih penanaman modal).
Penghancuran Gedung Sentra Perdagangan Dunia diposisikan sebagai pemicu efek domino akan perlunya sistematis penghancuran teror. Ketika kita berpikir sebagai seorang praktisi pemasaran, tentu suatu kebodohan jika kita tidak melakukan perencanaan komunikasi sebelumnya. Bahkan sangat jauh sebelumnya, bisa tahunan, kita sudah mulai mengumpulkan data, mengolahnya dan menerapkannya sebagai strategi penguasaan pasar. Bukan tidak mungkin strategi Kampanye Perang Lawan Teror ini pun telah direncanakan sebelumnya. Pengembalian para serdadu yang terculik hanyalah sebuah teaser. Gimmick yang perlu diujicoba dan dilempar untuk menyenangkan sekaligus mengetahui reaksi pasar. Lalu kapan kedamaian dicapai? Hanya Tuhan semesta alam yang tahu.
Bin Laden, Marketer Of The Century
Tak berlebihan jika gelar Pemasar Abad ini perlu kita sanjungkan kepada Usamah, anak lelaki dari Ladin. Usamah yang konon adalah mitra strategis Bush, kini dihukum sebagai anak nakal yang tidak menjalankan kebijakan demi kepentingan perusahaan yang sama. Usamah layaknya Wings yang dulu mencicipi indahnya produk Unilever, kemudian kini mencoba untuk menyainginya. Komunikasi Perlawanan dan Perjuangan sebagai sebuah gaya hidup kini diminati mereka yang merasa penindasan dan ketidakadilan harus diakhiri. Perlawanan Smile Up terhadap Pepsodent menciptakan sebuah ‘teror’ baru. Teror gaya hidup yang mengusung fungsi sosial dari sebuah produk. Bahwa bau mulut dan ket-tidak segaran mulut adalah musuh bersama kaum urban yang merasakan banyak represi dari kalangan tua. Kita tidak tahu mulut siapa yang bau, Tapi itulah kata kunci yang diterapkan Smile Up yang mengikuti gaya Close Up karena sama-sama dipasarkan kepada generasi muda. Perlawanan dan Perjuangan juga menjadi kata kunci yang dipasarkan Usamah kepada kaum muda yang masih bergairah dan militan. Represi dari mereka yang berkuasa dan ber-adi kuasa harus ditentang demi sebuah keseimbangan. Hebatnya, Usamah tidak perlu mengeluarkan biaya triliunan untuk kampanye produknya.
Hanya dengan modal kamera genggam, Kalashnikov tua dan orasi yang menggugah lewat internet, kini produknya digemari sekaligus dibenci di mana-mana. Dan disinilah keberhasilan sebuah kampanye komunikasi diukur. Ketika resistensi bermunculan, berarti komunikasi kita didengar. “Yah, cinta dan benci kan beti. Beda-beda tipis. Sama-sama dipikirin bow!”. Teriak penjaja syahwat tersegmentasi di Taman Lawang. Justru media barat lah yang dengan gencarnya memasarkan ‘teror’ ala Usamah dengan sukarela. Persepsi kita dibentuk, dan posisioning itu dimasukkan kepada konsumen global. Bahkan Usamah kini seolah menghasilkan ‘flagship’ yang di’usung’ oleh Hamas dan Hizbullah. Dibawah satu ‘umbrella’, teror. Walaupun Hamas dan Hizbullah memiliki legitimasi politis sesuai demokrasi ala Amerika, tapi mereka yang tidak segaris dengan kebijakan perusahaan harus dieliminasi. Lalu bukankah fantastis. Terima kasih kepada kampanye kompetitor, kini seolah produk Usamah memiliki dasar, premis, promise, dan benefit yang kuat untuk memenangkan posisioning di benak logika kita. Atau setidaknya simpati kita akan siapa yang benar dan siapa yang salah mulai terusik. Tapi waspada juga harus dimiliki. Karena bisa jadi mereka ingin kita untuk berpikir seperti itu.
Tiap Karakter adalah Unik dan Beda
Tentu menggerakkan massa untuk memerangi musuh bersama adalah mudah. Demi menghadapi tuntutan oposisi dan korupsi dalam negeri, Soekarno menciptakan Ganyang Malaysia. Demi menguatkan dukungan militer kepada posisi lemah Olmert yang sipil, maka IDF diberi mainan baru di tanah Lebanon. Namun bisa jadi teror yang dilabelkan kepada mereka yang memiliki pandangan yang tidak sama, justru malah akan semakin menguatkan keberadaan mereka. Pentingnya kita menyadari bahwa tiap karakter adalah beda, mulai dari terkecil individu hingga negara bangsa, adalah cara terbaik untuk memenangkan kompetisi. Bahwa dari informasi tumbuh pengetahuan. Dari pengetahuan terwujud pemahaman dan pengertian. Pemasaran Teror adalah fenomena unik dari abad informasi. Efektifitas dan kemampuan penetrasinya masih dibuktikan dengan uji lapangan yang terus terjadi hingga kini. Kelemahan yang harus dihindari dari Pemasaran Teror adalah bagaimana kita menemukan cara untuk menghentikan siklus aksi dan reaksi. Pemahaman baru yang muncul bagi dunia saat ini adalah untuk mulai mengerti kebutuhan penduduk bumi. Dan bagi praktek komunikasi, mengerti calon konsumen kita serta keinginan untuk mendengar adalah penekanan. Terutama jika kita bisa berbicara bahasa mereka.
Karena teror sesungguhnya adalah ketika kita memaksakan apa yang kita anggap benar, kepada mereka yang tidak bisa menerimanya. Homo Homini Lupus. Man, is a wolf to a man.
Adi Nugroho
Art Director | Visual Communicator
Namun ternyata dikotomi Barat dan Timur tidak selamanya membuat aman pikiran kita. Barat pun kini juga dilanda demam kebersamaan. Bersama untuk dibuat takut. Dan bersama untuk dipersepsikan sebagai manusia unggul yang memperoleh kebebasan (freedom) dan harus berjuang memberantas siapapun yang berusaha mengambil kebebasan itu dengan kuasa ketakutan. Terpatri jelas dalam marmer megah di Arlington dan Washington, Fredoom Is Not Free. Kira-kira jiwa inilah yang terpaku juga di kalangan pemasar kontemporer, bahwa berjuang untuk membebaskan pikiran konsumen dari produk kompetitor, dan juga menjaganya, adalah tidak murah. Triliun rupiah dikucurkan sebagai belanja iklan. Promosi lini bawah terus digenjot, dan kadang perlu berjibaku untuk mendapatkan perhatian konsumen yang tidak loyalis.
Teror di Sekitar Kita
Kampanye liberasi terhadap mereka yang meng-oposisi kebebasan dipenetrasikan dengan gamblang dan kontinyu. Teror sesungguhnya tidak hanya melalui bom bunuh diri. Teror ada di mana-mana. Tengoklah sekeliling. Tak luput secara visual kita mengalami teror busana, teror belahan dada, teror sinetron punjabi, teror orasi Bu Mega, teror musik dan sebutkan teror lainnya. Apa yang baik diolah menjadi buruk. Dan perilaku buruk seolah ter-benarkan. Sangat bergantung dari sisi mana kita melihat dan akan berpihak. Inilah kampanye paling masif yang di alami masyarakat urban dengan konsumsinya. Consumption ergo sum. Dan karena fesyen, gaya hidup, maka identitas pembeda kita ada.
Kampanye Timur Tengah
Lalu apa yang kita lihat saat ini di Timur Tengah? Perjuangan memenangkan sebuah pertarungan sesungguhnya bukan berdasar pada pergerakan Merkava dan Fighter Type-16. Bukan. Barang besi itu hanyalah alat, sebagai sebuah komunikasi lini bawah. Dimana mereka melakukan suatu demonstrasi produk berupa unjuk kekuatan fitur-fitur penyangga unggul dari Demokrasi Barat. Komunikasi sesungguhnya adalah penetrasi media barat dan pernyataan berulang Dan Gillerman bahwa ini adalah bagian dari Kampanye Perang Melawan Teror. Condi pun berkeliling bola bumi. Meyakinkan semua orang bahwa para moderat adalah idola yang harus dikirimi sms dukungan. Dan para pemilik label ekstremis adalah mereka yang harus disemprot diklorvos jika Perdamaian Yang Berkelanjutan ingin dicapai. Musuh bersama jelas telah tercipta. Belum dihitung dengan penetrasi posisioning bahwa bikini adalah lumrah, pakaian tertutup itu kebodohan dan pengekangan, prostitusi wajar asal legal, ekonomi tentu kuat jika tenaga kerja murah dijual pada negara maju (dengan dalih penanaman modal).
Penghancuran Gedung Sentra Perdagangan Dunia diposisikan sebagai pemicu efek domino akan perlunya sistematis penghancuran teror. Ketika kita berpikir sebagai seorang praktisi pemasaran, tentu suatu kebodohan jika kita tidak melakukan perencanaan komunikasi sebelumnya. Bahkan sangat jauh sebelumnya, bisa tahunan, kita sudah mulai mengumpulkan data, mengolahnya dan menerapkannya sebagai strategi penguasaan pasar. Bukan tidak mungkin strategi Kampanye Perang Lawan Teror ini pun telah direncanakan sebelumnya. Pengembalian para serdadu yang terculik hanyalah sebuah teaser. Gimmick yang perlu diujicoba dan dilempar untuk menyenangkan sekaligus mengetahui reaksi pasar. Lalu kapan kedamaian dicapai? Hanya Tuhan semesta alam yang tahu.
Bin Laden, Marketer Of The Century
Tak berlebihan jika gelar Pemasar Abad ini perlu kita sanjungkan kepada Usamah, anak lelaki dari Ladin. Usamah yang konon adalah mitra strategis Bush, kini dihukum sebagai anak nakal yang tidak menjalankan kebijakan demi kepentingan perusahaan yang sama. Usamah layaknya Wings yang dulu mencicipi indahnya produk Unilever, kemudian kini mencoba untuk menyainginya. Komunikasi Perlawanan dan Perjuangan sebagai sebuah gaya hidup kini diminati mereka yang merasa penindasan dan ketidakadilan harus diakhiri. Perlawanan Smile Up terhadap Pepsodent menciptakan sebuah ‘teror’ baru. Teror gaya hidup yang mengusung fungsi sosial dari sebuah produk. Bahwa bau mulut dan ket-tidak segaran mulut adalah musuh bersama kaum urban yang merasakan banyak represi dari kalangan tua. Kita tidak tahu mulut siapa yang bau, Tapi itulah kata kunci yang diterapkan Smile Up yang mengikuti gaya Close Up karena sama-sama dipasarkan kepada generasi muda. Perlawanan dan Perjuangan juga menjadi kata kunci yang dipasarkan Usamah kepada kaum muda yang masih bergairah dan militan. Represi dari mereka yang berkuasa dan ber-adi kuasa harus ditentang demi sebuah keseimbangan. Hebatnya, Usamah tidak perlu mengeluarkan biaya triliunan untuk kampanye produknya.
Hanya dengan modal kamera genggam, Kalashnikov tua dan orasi yang menggugah lewat internet, kini produknya digemari sekaligus dibenci di mana-mana. Dan disinilah keberhasilan sebuah kampanye komunikasi diukur. Ketika resistensi bermunculan, berarti komunikasi kita didengar. “Yah, cinta dan benci kan beti. Beda-beda tipis. Sama-sama dipikirin bow!”. Teriak penjaja syahwat tersegmentasi di Taman Lawang. Justru media barat lah yang dengan gencarnya memasarkan ‘teror’ ala Usamah dengan sukarela. Persepsi kita dibentuk, dan posisioning itu dimasukkan kepada konsumen global. Bahkan Usamah kini seolah menghasilkan ‘flagship’ yang di’usung’ oleh Hamas dan Hizbullah. Dibawah satu ‘umbrella’, teror. Walaupun Hamas dan Hizbullah memiliki legitimasi politis sesuai demokrasi ala Amerika, tapi mereka yang tidak segaris dengan kebijakan perusahaan harus dieliminasi. Lalu bukankah fantastis. Terima kasih kepada kampanye kompetitor, kini seolah produk Usamah memiliki dasar, premis, promise, dan benefit yang kuat untuk memenangkan posisioning di benak logika kita. Atau setidaknya simpati kita akan siapa yang benar dan siapa yang salah mulai terusik. Tapi waspada juga harus dimiliki. Karena bisa jadi mereka ingin kita untuk berpikir seperti itu.
Tiap Karakter adalah Unik dan Beda
Tentu menggerakkan massa untuk memerangi musuh bersama adalah mudah. Demi menghadapi tuntutan oposisi dan korupsi dalam negeri, Soekarno menciptakan Ganyang Malaysia. Demi menguatkan dukungan militer kepada posisi lemah Olmert yang sipil, maka IDF diberi mainan baru di tanah Lebanon. Namun bisa jadi teror yang dilabelkan kepada mereka yang memiliki pandangan yang tidak sama, justru malah akan semakin menguatkan keberadaan mereka. Pentingnya kita menyadari bahwa tiap karakter adalah beda, mulai dari terkecil individu hingga negara bangsa, adalah cara terbaik untuk memenangkan kompetisi. Bahwa dari informasi tumbuh pengetahuan. Dari pengetahuan terwujud pemahaman dan pengertian. Pemasaran Teror adalah fenomena unik dari abad informasi. Efektifitas dan kemampuan penetrasinya masih dibuktikan dengan uji lapangan yang terus terjadi hingga kini. Kelemahan yang harus dihindari dari Pemasaran Teror adalah bagaimana kita menemukan cara untuk menghentikan siklus aksi dan reaksi. Pemahaman baru yang muncul bagi dunia saat ini adalah untuk mulai mengerti kebutuhan penduduk bumi. Dan bagi praktek komunikasi, mengerti calon konsumen kita serta keinginan untuk mendengar adalah penekanan. Terutama jika kita bisa berbicara bahasa mereka.
Karena teror sesungguhnya adalah ketika kita memaksakan apa yang kita anggap benar, kepada mereka yang tidak bisa menerimanya. Homo Homini Lupus. Man, is a wolf to a man.
Adi Nugroho
Art Director | Visual Communicator
Sunday, December 18, 2005
Fesyen, Prejudis, Hingga Infotainment : Birahi Kekerasan Psikologis
“Sebuah keluarga muda-kecil-bahagia memasuki gedung supermarket. Tampak sang ibu menggandeng anak pertamanya. Baru saja lulus Taman Kanak-kanak. Beberapa orang yang berpapasan tertegun melihat mereka. Sang Ayah, berambut layaknya sapu, jaket kulit, rantai dan dua tato ular di lengan setia menemani. Sepatu bot tentara tampak gagah dipakai. Ibunya setali tiga uang. Bahkan lebih warna-warni pada mahkotanya. Ketika berbelanja, sang anak berlarian dan hilang dari pandangan. Sempat mencari, akhirnya Ayah pun menangkap jagoan kecilnya. Sambil menggendong, ia berkata “Jangan jauh-jauh dari Ayah atau Ibu. Bisa-bisa kamu nanti diculik orang yang mengerikan”.”
Guyonan ini sempat dimuat di sebuah majalah berbahasa inggris yang sudah ditransliterasikan menjadi bahasa Indonesia. Tersenyum? Mungkin bisa ironi. Fesyen memang telah menjadi sebuah identitas. Tapi konstruksi persepsi berdasar apa yang kita lihat, relasi visual penglihatan dengan apa yang pertama muncul di benak kita, telah mengalami pergeseran. Sejak awal memang ke-aku-an tak pernah muncul di komunitas komunal yang menghuni nusantara. Gotong royong, rame-rame, dan kebersamaan adalah sebuah spirit. Ketika fesyen sebagai identitas telah ditentukan secara sadar ke dalam diri kita sendiri, dan secara tidak langsung akan menggeser peran dan konsep komunitas komunal itu, bolehkah kita mengeluarkan prasangka? Adalah memang, secara psikologis, seseorang tidak mudah menerima apa yang tak ia ketahui sebelumnya. Waspada, sebuah mekanisme pertahanan diri sendiri. Begitu juga, sesuatu yang menjadi determinan akan menjauhkan dirinya dari rasa aman. Karena ia beda, maka ia tak sama. Walau secara peran, pria berdandan beda tadi adalah sama, sebagai seorang ayah yang melindungi kepentingan keluarganya, buah hatinya, putranya.
Dalam dunia sosiologis, peran dapat diartikan sebagai sebuah set harapan budaya terhadap posisi tertentu. Kita dapat mengatakan peran pria tadi sebagai Ayah, jika dia menampilkan ‘identitas’ diri, kepribadian, perilaku verbal (berbahasa layaknya seorang ayah), non-verbal (tegas, bisa melindungi, bahasa tubuh dsb) seperti seorang ayah seharusnya. Sementara ‘identitas’ awal yang kita pahami adalah berdasar pada fesyen, tampilan visual yang dianutnya. Andreas Schneider mengungkapkan peran lebih mengacu pada harapan (roles refer to expected) dan tidak sekedar pada perilaku aktual. Juga bersifat normatif daripada sekedar deskriptif. Harapan seorang anak, terhadap ayahnya, adalah menjadi seorang ayah. Yang melindungi, tegas dan memberikan rasa aman. Namun, apa harapan seorang ayah yang lain, ketika anaknya bertatap muka dengan sang pria rambut sapu tadi? Peran prasangka, akan bermain cukup kuat. Seorang aktor utama, prasangka tadi akan bisa berubah menjadi tingkat yang lebih tinggi. Diskriminasi, pelecehan, permusuhan, bahkan mungkin eksterminasi.
Dalam pendekatan sistem tanda, Umberto Eco sebagaimana dijelaskan oleh Yasraf (2003), mengatakan semiotika adalah berkutat pada segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie). Bahwa pada prinsipnya satu bentuk representasi adalah sesuatu yang hadir namun menunjukkan bahwa sesuatu di luar dirinyalah yang dia coba hadirkan. Representasi dandanan beda dan rambut sapu dari sang pria tadi, adalah mungkin bentuk kesadaran, mungkin juga kebohongan. Tapi tak serta merta kita berhak untuk melabelinya sebuah teror. Fesyen dapat ber-relasi menjadi sebuah persepsi yang mungkin terdistorsi menjadi prasangka. Distorsi dalam komunikasi dan informasi visual. Seperti halnya dunia infotainment yang mulai meresap dalam pembicaraan hingga pemikiran manusia Indonesia mutakhir ini. Dimana pergunjingan akan sebuah peran seseorang dan konsekuensinya adalah lumrah untuk diketahui secara komunal. Pembenaran akan menjadi sebuah identitas yang akan sering dilihat, menjadi figur publik, serta merta memberikan justifikasi untuk mengorek kehidupan bahkan kepribadian seseorang.
Penampilan, fesyen, imaji, persepsi dan ilusi tertuang menjadi bentuk budaya yang luar biasa mengakar pada masyarakat kosmopolitan pos-milenium dan pos-republik di nusantara kini. Simulakrum yang mentah menjadi guru, di-gugu dan di-tiru. Dipercaya dan ditiru. Bentuk-bentuk komunikasi dan informasi visual mudah dicari, dicerna dan diterima. Komunitas komunal yang dulu bertahan pada falsafah membangun bersama, kini menjadi komunitas komunal yang bertahan pada imaji dan identitas bohong yang sama, akibat konstruksi media massa visual. Infotainment pun seolah ingin unjuk gigi menjadi penyeimbang, berkata manis, penuh tawaran moral dan pesan ketimuran. Namun sungguh, ketika figur publik memiliki nilai guna, maka prasangka adalah komoditas. Ketika seorang Andhara Early hamil setelah diberitakan cerai dengan suaminya, seolah opini digiring. Andhara bermain selingkuh dengan pria lain. Zina. Sebuah tuduhan seram, seseram hukuman adat, dan agama yang ada. Begitupun Pingkan Mambo, yang tiba-tiba dititipi sebuah nyawa tambahan, persepsi terbentuk berdasar prasangka. Ada apa dengan Pingkan? Sudahkah ia menikah? Apakah memang itu lazimnya perilaku manusia berkostum panggung, erotik dan eksotis, menarik, rambut warna cerah, baju sobek, tonjolan seksi, cantik, indo, tampan, parlente, dan segala topeng karakter dunia hiburan? Bebas dari norma, dan bergaul sesukanya?
Terlepas apakah memang seperti itu, kini main hakim sendiri tak cuma konsumsi preman dan kumpulan masyarakat bawah yang sakit secara ekonomi. Di tengah keluarga kita pun, di dalam diri kita pun, proses pengadilan telah terjadi. Berdasar apa yang kita tonton, dan mungkin secara sadar, kita pun mengamininya bahwa kita adalah hakim sekaligus jaksa. Ketika beda adalah sebuah hal yang kentara, waspada kita telah berubah menjadi sebuah eksekusi. Benar dan salah, kita leburkan dalam sebuah konflik, dan labeli dengan sebuah kemasan indah, ragam berita infotainment. Memang, itulah sebuah proses pendewasaan masyarakat verbal menjadi masyarakat visual. Masyarakat yang mulai berhobi tak lazimnya masyarakat timur. Kegemaran baru masyarakat bumi elok khatulistiwa ini tidak lagi berusaha membangun bersama. Tapi hanyalah menggilai birahinya untuk menuduh sesama, cuma berdasar pada prasangka. Lalu, bukankah itu sebuah bentuk kekerasan psikologis?
Adi Nugroho
Guyonan ini sempat dimuat di sebuah majalah berbahasa inggris yang sudah ditransliterasikan menjadi bahasa Indonesia. Tersenyum? Mungkin bisa ironi. Fesyen memang telah menjadi sebuah identitas. Tapi konstruksi persepsi berdasar apa yang kita lihat, relasi visual penglihatan dengan apa yang pertama muncul di benak kita, telah mengalami pergeseran. Sejak awal memang ke-aku-an tak pernah muncul di komunitas komunal yang menghuni nusantara. Gotong royong, rame-rame, dan kebersamaan adalah sebuah spirit. Ketika fesyen sebagai identitas telah ditentukan secara sadar ke dalam diri kita sendiri, dan secara tidak langsung akan menggeser peran dan konsep komunitas komunal itu, bolehkah kita mengeluarkan prasangka? Adalah memang, secara psikologis, seseorang tidak mudah menerima apa yang tak ia ketahui sebelumnya. Waspada, sebuah mekanisme pertahanan diri sendiri. Begitu juga, sesuatu yang menjadi determinan akan menjauhkan dirinya dari rasa aman. Karena ia beda, maka ia tak sama. Walau secara peran, pria berdandan beda tadi adalah sama, sebagai seorang ayah yang melindungi kepentingan keluarganya, buah hatinya, putranya.
Dalam dunia sosiologis, peran dapat diartikan sebagai sebuah set harapan budaya terhadap posisi tertentu. Kita dapat mengatakan peran pria tadi sebagai Ayah, jika dia menampilkan ‘identitas’ diri, kepribadian, perilaku verbal (berbahasa layaknya seorang ayah), non-verbal (tegas, bisa melindungi, bahasa tubuh dsb) seperti seorang ayah seharusnya. Sementara ‘identitas’ awal yang kita pahami adalah berdasar pada fesyen, tampilan visual yang dianutnya. Andreas Schneider mengungkapkan peran lebih mengacu pada harapan (roles refer to expected) dan tidak sekedar pada perilaku aktual. Juga bersifat normatif daripada sekedar deskriptif. Harapan seorang anak, terhadap ayahnya, adalah menjadi seorang ayah. Yang melindungi, tegas dan memberikan rasa aman. Namun, apa harapan seorang ayah yang lain, ketika anaknya bertatap muka dengan sang pria rambut sapu tadi? Peran prasangka, akan bermain cukup kuat. Seorang aktor utama, prasangka tadi akan bisa berubah menjadi tingkat yang lebih tinggi. Diskriminasi, pelecehan, permusuhan, bahkan mungkin eksterminasi.
Dalam pendekatan sistem tanda, Umberto Eco sebagaimana dijelaskan oleh Yasraf (2003), mengatakan semiotika adalah berkutat pada segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie). Bahwa pada prinsipnya satu bentuk representasi adalah sesuatu yang hadir namun menunjukkan bahwa sesuatu di luar dirinyalah yang dia coba hadirkan. Representasi dandanan beda dan rambut sapu dari sang pria tadi, adalah mungkin bentuk kesadaran, mungkin juga kebohongan. Tapi tak serta merta kita berhak untuk melabelinya sebuah teror. Fesyen dapat ber-relasi menjadi sebuah persepsi yang mungkin terdistorsi menjadi prasangka. Distorsi dalam komunikasi dan informasi visual. Seperti halnya dunia infotainment yang mulai meresap dalam pembicaraan hingga pemikiran manusia Indonesia mutakhir ini. Dimana pergunjingan akan sebuah peran seseorang dan konsekuensinya adalah lumrah untuk diketahui secara komunal. Pembenaran akan menjadi sebuah identitas yang akan sering dilihat, menjadi figur publik, serta merta memberikan justifikasi untuk mengorek kehidupan bahkan kepribadian seseorang.
Penampilan, fesyen, imaji, persepsi dan ilusi tertuang menjadi bentuk budaya yang luar biasa mengakar pada masyarakat kosmopolitan pos-milenium dan pos-republik di nusantara kini. Simulakrum yang mentah menjadi guru, di-gugu dan di-tiru. Dipercaya dan ditiru. Bentuk-bentuk komunikasi dan informasi visual mudah dicari, dicerna dan diterima. Komunitas komunal yang dulu bertahan pada falsafah membangun bersama, kini menjadi komunitas komunal yang bertahan pada imaji dan identitas bohong yang sama, akibat konstruksi media massa visual. Infotainment pun seolah ingin unjuk gigi menjadi penyeimbang, berkata manis, penuh tawaran moral dan pesan ketimuran. Namun sungguh, ketika figur publik memiliki nilai guna, maka prasangka adalah komoditas. Ketika seorang Andhara Early hamil setelah diberitakan cerai dengan suaminya, seolah opini digiring. Andhara bermain selingkuh dengan pria lain. Zina. Sebuah tuduhan seram, seseram hukuman adat, dan agama yang ada. Begitupun Pingkan Mambo, yang tiba-tiba dititipi sebuah nyawa tambahan, persepsi terbentuk berdasar prasangka. Ada apa dengan Pingkan? Sudahkah ia menikah? Apakah memang itu lazimnya perilaku manusia berkostum panggung, erotik dan eksotis, menarik, rambut warna cerah, baju sobek, tonjolan seksi, cantik, indo, tampan, parlente, dan segala topeng karakter dunia hiburan? Bebas dari norma, dan bergaul sesukanya?
Terlepas apakah memang seperti itu, kini main hakim sendiri tak cuma konsumsi preman dan kumpulan masyarakat bawah yang sakit secara ekonomi. Di tengah keluarga kita pun, di dalam diri kita pun, proses pengadilan telah terjadi. Berdasar apa yang kita tonton, dan mungkin secara sadar, kita pun mengamininya bahwa kita adalah hakim sekaligus jaksa. Ketika beda adalah sebuah hal yang kentara, waspada kita telah berubah menjadi sebuah eksekusi. Benar dan salah, kita leburkan dalam sebuah konflik, dan labeli dengan sebuah kemasan indah, ragam berita infotainment. Memang, itulah sebuah proses pendewasaan masyarakat verbal menjadi masyarakat visual. Masyarakat yang mulai berhobi tak lazimnya masyarakat timur. Kegemaran baru masyarakat bumi elok khatulistiwa ini tidak lagi berusaha membangun bersama. Tapi hanyalah menggilai birahinya untuk menuduh sesama, cuma berdasar pada prasangka. Lalu, bukankah itu sebuah bentuk kekerasan psikologis?
Adi Nugroho
Konstruksi Keajaiban Unilever, Kebersamaan Merangkul Kebebasan Individu.
Mengamati cara bicara dan bahasa rupa dari sebuah iklan di Indonesia kadang menarik, kadang membosankan. Bahasa rupa dan tanda yang dipakai, cenderung hanya berdasar pada keinginan pasar tanpa ada terobosan berbicara yang layak dipandang sebagai pendewasaan masyarakat transisi oral-verbal menuju visual. Jelas iklan Indonesia tak bisa disamakan dengan iklan Amerika atau iklan barat. Kita beda. Komunitas kita memiliki karakteristik yang tak sama dengan mereka. Para londo itu menggilai seks, humor, menjunjung individualisme, liberalisme, hedonisme, dan konsumerisme. Para bumiputra menyenangi nongkrong, mangan ora mangan ngumpul, ketawa bersama, mistis, pergunjingan, dan kekeluargaan yang terdisorsi. Akhirnya kepada siapa kita berbicara? Tentu saja, masyarakat urban kosmopolitan Indonesia tak bisa lepas dari pengaruh kebiasaan londo yang mereka gampang cerna, ketahui dan amini.
Komunitas urban adalah komunitas yang lebih terbuka, dan kadang bahkan tak sadar kenapa ia memilih sebagai orang yang terbuka. Kelompok komunal yang meleburkan gila seks, humor, individual, hedonis, konsumeris, tapi sekaligus nongkrong, penyuka mistis, bergunjing bersama, dan merasa memiliki rasa kekeluargaan yang terdistorsi. Bagaimana berbicara dengan kelompok seperti ini? Unilever cukup jeli dan bisa menjadi menarik dalam menebak kondisi masyarakat banci ini. Setidaknya bisa kita lihat dalam kampanye iklan Lifebuoy, dan Rinso paling mutakhir. Lifebuoy dan Rinso bermain dalam tataran kebersamaan namun akhirnya juga menghargai kebebasan dan keterbukaan seorang individu. Lifebuoy, khususnya dalam kampanye anti jerawatnya berkata, “..anak muda terserah ingin melakukan apa saja. Tunjukkan keberanianmu, kebiasaanmu, kebisaanmu, siapa engkau dalam komunitasmu. Jika selama beraktifitas kemudian timbul jerawat, usah kau khawatir, serahkan urusan itu pada Lifebuoy..”. Ini bisa dilihat pada kampanye Jawara tak takut jerawat sabun Lifebuoy. Sementara Rinso dengan jinglenya yang sangat catchy dan mungkin akan stuck in your head, menampilkan kampanye Berani Kotor itu Baik. Dalam tampilan visualnya, iklan itu mengajarkan kita untuk bisa melihat dari sisi lain. Seorang anak yang ikut bermain kotor-kotoran, seorang pria yang ikut mendorong mobil mogok bersama temannya saat hujan becek, dan anak bersama kelompoknya berkubang di sawah. Apa yang kita lihat? Sebuah keinginan untuk melakukan sesuatu yang baik, atau hanya kekotoran yang akhirnya bisa menimbulkan penyakit? Dengan penutup berani kotor itu baik, maka Rinso seolah menjadi pahlawan layaknya Lifebuoy. Bermainlah, berkotor-kotorlah, setelah itu serahkan semuanya pada Rinso, dan juga Lifebuoy. Sebuah pilihan. Memilih, adalah bentuk perilaku individu. Freedom of choice, yet I already know whom I choose.
Keduanya memberikan kesempatan bagi target pasarnya untuk bebas melakukan aktifitas kebersamaan apapun, bahkan yang kotor sekalipun. Tapi ketika kembali ke urusan mencari pelindung dan pahlawan, maka secara samar kita diarahkan untuk memilih karakter hero idola yang membebaskan fansnya, namun ketika dibutuhkan ia akan sukarela menolong kita. Tanpa perlu mengomel. Tanpa perlu menggurui. Bagaikan keinginan remaja terhadap orangtuanya ketika puber tiba. Rinso dan Lifebuoy adalah sang Pahlawan Idola tadi. Semiotika yang dianut adalah menggabungkan kebersamaan dengan ujung kebebasan individual. Seks jelas tak mungkin masuk di sini. Tahapan bumbu seks terhadap produk yang bukan seksis di nusantara belum bisa dipahami secara komunal. Pun tentu bukan tanpa maksud kampanye ini, dengan tema yang mirip sama, diluncurkan dalam waktu yang hampir bersamaan. Keduanya produk unilever. Dan keduanya dapat saling menunjang dengan asas manfaat yang cukup sama. Kebersihan, dan juga kesehatan. Harapannya, keduanya akan dikonsumsi secara bersama pula.
Adi Nugroho
17400029
Komunitas urban adalah komunitas yang lebih terbuka, dan kadang bahkan tak sadar kenapa ia memilih sebagai orang yang terbuka. Kelompok komunal yang meleburkan gila seks, humor, individual, hedonis, konsumeris, tapi sekaligus nongkrong, penyuka mistis, bergunjing bersama, dan merasa memiliki rasa kekeluargaan yang terdistorsi. Bagaimana berbicara dengan kelompok seperti ini? Unilever cukup jeli dan bisa menjadi menarik dalam menebak kondisi masyarakat banci ini. Setidaknya bisa kita lihat dalam kampanye iklan Lifebuoy, dan Rinso paling mutakhir. Lifebuoy dan Rinso bermain dalam tataran kebersamaan namun akhirnya juga menghargai kebebasan dan keterbukaan seorang individu. Lifebuoy, khususnya dalam kampanye anti jerawatnya berkata, “..anak muda terserah ingin melakukan apa saja. Tunjukkan keberanianmu, kebiasaanmu, kebisaanmu, siapa engkau dalam komunitasmu. Jika selama beraktifitas kemudian timbul jerawat, usah kau khawatir, serahkan urusan itu pada Lifebuoy..”. Ini bisa dilihat pada kampanye Jawara tak takut jerawat sabun Lifebuoy. Sementara Rinso dengan jinglenya yang sangat catchy dan mungkin akan stuck in your head, menampilkan kampanye Berani Kotor itu Baik. Dalam tampilan visualnya, iklan itu mengajarkan kita untuk bisa melihat dari sisi lain. Seorang anak yang ikut bermain kotor-kotoran, seorang pria yang ikut mendorong mobil mogok bersama temannya saat hujan becek, dan anak bersama kelompoknya berkubang di sawah. Apa yang kita lihat? Sebuah keinginan untuk melakukan sesuatu yang baik, atau hanya kekotoran yang akhirnya bisa menimbulkan penyakit? Dengan penutup berani kotor itu baik, maka Rinso seolah menjadi pahlawan layaknya Lifebuoy. Bermainlah, berkotor-kotorlah, setelah itu serahkan semuanya pada Rinso, dan juga Lifebuoy. Sebuah pilihan. Memilih, adalah bentuk perilaku individu. Freedom of choice, yet I already know whom I choose.
Keduanya memberikan kesempatan bagi target pasarnya untuk bebas melakukan aktifitas kebersamaan apapun, bahkan yang kotor sekalipun. Tapi ketika kembali ke urusan mencari pelindung dan pahlawan, maka secara samar kita diarahkan untuk memilih karakter hero idola yang membebaskan fansnya, namun ketika dibutuhkan ia akan sukarela menolong kita. Tanpa perlu mengomel. Tanpa perlu menggurui. Bagaikan keinginan remaja terhadap orangtuanya ketika puber tiba. Rinso dan Lifebuoy adalah sang Pahlawan Idola tadi. Semiotika yang dianut adalah menggabungkan kebersamaan dengan ujung kebebasan individual. Seks jelas tak mungkin masuk di sini. Tahapan bumbu seks terhadap produk yang bukan seksis di nusantara belum bisa dipahami secara komunal. Pun tentu bukan tanpa maksud kampanye ini, dengan tema yang mirip sama, diluncurkan dalam waktu yang hampir bersamaan. Keduanya produk unilever. Dan keduanya dapat saling menunjang dengan asas manfaat yang cukup sama. Kebersihan, dan juga kesehatan. Harapannya, keduanya akan dikonsumsi secara bersama pula.
Adi Nugroho
17400029
Tuesday, November 29, 2005
A Talk about Productivity and Globalism.
One of the weaknesses that Indonesian workforce has is its low productivity. Professor Richard Moore from California State University said that in relation to the cheap labor, the workforce tends to get wasted. In other countries such as America, they have minimum wages for worker.That way company will be selective for the kind of job they offer. For example, in Indonesia there are jobs such as coffee boys and chaffeur, but in other countries the cost to hire someone to do such job is too high that employees simply has to make their own coffee and drive their own car. He mentioned that the servant in Indonesia can make Rp.700.000/ month while a servant in California can make Rp.11.000.000/ month. Why? It’s all about productivity. Usually, what you earn reflect your productivity. One servant in California can serve more people compare to here and make more value at their workplace. Even if Indonesia have a minimum wages now, it will not work because the company will not earn enough to pay their employees. At the moment, companies in Indonesia are trying to find the cheapest labor and they will soon have to find another way to compete because the cost of labor are due to change and the only way go is increasing their productivity.
To be productive, there important factors to consider such as capital, infrastructure, management, and the quality of people. In term of the quality of the people, Professor Watson from Kent mentioned that there is a need for professionalism at al level in Indonesian workforce. He feels that in all levels of work people are not up to global standard therefore training for workers are needed. People have insufficient quality assurance, bad time management and there are low supervision in general. This is because many workers are recruited based on nepotism, have no motivation to do better in their job and low practical field. That way, again, proper training is definetely something that workers in all level need, because even people at top position of the company still have the lack of professionalism.
We also aware that globalization will affect our economy, so in term of it what will happen? Professor Moore said that theoritically and in term of productivity globalization is good, because company that produce the cheapest product will sell. For example, if China produce the cheapest motorcycle and America produce the cheapest software they simply have to buy from one another and therefore complete each other. But, he also added that it does not always work that way. Some might say that globalization perpetuates economic inequality based on system of complimentarity or make the poor country even poorer. But whether we agree or not, it already affects our economy and lock us into the global system.
So what can we do to survive in it? Professor Moore mentioned that to be sucessful we need to keep learning and be innovative. The competition between workers will be very strict and the requirement of qualified and “productive” workers keep changing everyday. For instance, the ability of speaking English is a must for worker today, the next day it could be English and Mandarin. We need to be “updated” to every kind of technology and skill, because it is not a matter of surviving at work. It’s a matter of suceeding. We all want to be sucessful don’t we?
Yuanita Christayanie
(Based on Interview with Professor Richard Moore and Professor C.W. Watson)
A published in SBM News, November 29th, 2005.
To be productive, there important factors to consider such as capital, infrastructure, management, and the quality of people. In term of the quality of the people, Professor Watson from Kent mentioned that there is a need for professionalism at al level in Indonesian workforce. He feels that in all levels of work people are not up to global standard therefore training for workers are needed. People have insufficient quality assurance, bad time management and there are low supervision in general. This is because many workers are recruited based on nepotism, have no motivation to do better in their job and low practical field. That way, again, proper training is definetely something that workers in all level need, because even people at top position of the company still have the lack of professionalism.
We also aware that globalization will affect our economy, so in term of it what will happen? Professor Moore said that theoritically and in term of productivity globalization is good, because company that produce the cheapest product will sell. For example, if China produce the cheapest motorcycle and America produce the cheapest software they simply have to buy from one another and therefore complete each other. But, he also added that it does not always work that way. Some might say that globalization perpetuates economic inequality based on system of complimentarity or make the poor country even poorer. But whether we agree or not, it already affects our economy and lock us into the global system.
So what can we do to survive in it? Professor Moore mentioned that to be sucessful we need to keep learning and be innovative. The competition between workers will be very strict and the requirement of qualified and “productive” workers keep changing everyday. For instance, the ability of speaking English is a must for worker today, the next day it could be English and Mandarin. We need to be “updated” to every kind of technology and skill, because it is not a matter of surviving at work. It’s a matter of suceeding. We all want to be sucessful don’t we?
Yuanita Christayanie
(Based on Interview with Professor Richard Moore and Professor C.W. Watson)
A published in SBM News, November 29th, 2005.
Monday, November 21, 2005
BREAKING NEWS!
and see for yourself..
Apaan sih sok misterius gini.
Apaan sih sok misterius gini.
Blog Boul yang baru ini salah satu hasil dari Raker kemarin. Isinya murni untuk komunikasi, jadi tulisan-tulisan Didot tetep masuk blog yang ini aja ya.. :)
Subscribe to:
Posts (Atom)