Posisioning paling cepat menyebar saat ini adalah hanya berupa satu kata. Teror. Teror juga terorisme sebagai bentuk kata kerja. Pendekatan global yang dimulai dari (atau dipasarkan untuk seolah dimulai dari) para pejuang berdasar agama. Banyak pula berkata akar sebenarnya adalah ketidakseimbangan. Jurang tajam antara perlakuan negara maju terhadap negara berkembang. Yang mana yang berkata benar? Disinilah pentingnya pemasaran modern terhadap perang informasi. Pentingnya pembentukan persepsi pada benak dan imaji tiap individu yang unik menjadi sama rata. Sebenarnya kampanye teror adalah produk lama. Sama halnya ketika Unilever ingin menjual pepsodent-nya di Nusantara. Yang perlu dikomunikasikan, dulu hingga sekarang, adalah menciptakan satu ‘teror’. Penciptaan sebuah karakter yang bisa dipersepsi sebagai musuh bersama, yaitu plak dan karang gigi. Suatu pendekatan komunikasi ber-basis keuntungan kesehatan (health benefit). Karakterisasi musuh bersama ini menjadi senjata ampuh yang bisa dipakai, karena sikap solidaritas manusia sebagai mahluk sosial. Terutama pula budaya Indonesia yang konon selalu menjunjung kebersamaan.
Namun ternyata dikotomi Barat dan Timur tidak selamanya membuat aman pikiran kita. Barat pun kini juga dilanda demam kebersamaan. Bersama untuk dibuat takut. Dan bersama untuk dipersepsikan sebagai manusia unggul yang memperoleh kebebasan (freedom) dan harus berjuang memberantas siapapun yang berusaha mengambil kebebasan itu dengan kuasa ketakutan. Terpatri jelas dalam marmer megah di Arlington dan Washington, Fredoom Is Not Free. Kira-kira jiwa inilah yang terpaku juga di kalangan pemasar kontemporer, bahwa berjuang untuk membebaskan pikiran konsumen dari produk kompetitor, dan juga menjaganya, adalah tidak murah. Triliun rupiah dikucurkan sebagai belanja iklan. Promosi lini bawah terus digenjot, dan kadang perlu berjibaku untuk mendapatkan perhatian konsumen yang tidak loyalis.
Teror di Sekitar Kita
Kampanye liberasi terhadap mereka yang meng-oposisi kebebasan dipenetrasikan dengan gamblang dan kontinyu. Teror sesungguhnya tidak hanya melalui bom bunuh diri. Teror ada di mana-mana. Tengoklah sekeliling. Tak luput secara visual kita mengalami teror busana, teror belahan dada, teror sinetron punjabi, teror orasi Bu Mega, teror musik dan sebutkan teror lainnya. Apa yang baik diolah menjadi buruk. Dan perilaku buruk seolah ter-benarkan. Sangat bergantung dari sisi mana kita melihat dan akan berpihak. Inilah kampanye paling masif yang di alami masyarakat urban dengan konsumsinya. Consumption ergo sum. Dan karena fesyen, gaya hidup, maka identitas pembeda kita ada.
Kampanye Timur Tengah
Lalu apa yang kita lihat saat ini di Timur Tengah? Perjuangan memenangkan sebuah pertarungan sesungguhnya bukan berdasar pada pergerakan Merkava dan Fighter Type-16. Bukan. Barang besi itu hanyalah alat, sebagai sebuah komunikasi lini bawah. Dimana mereka melakukan suatu demonstrasi produk berupa unjuk kekuatan fitur-fitur penyangga unggul dari Demokrasi Barat. Komunikasi sesungguhnya adalah penetrasi media barat dan pernyataan berulang Dan Gillerman bahwa ini adalah bagian dari Kampanye Perang Melawan Teror. Condi pun berkeliling bola bumi. Meyakinkan semua orang bahwa para moderat adalah idola yang harus dikirimi sms dukungan. Dan para pemilik label ekstremis adalah mereka yang harus disemprot diklorvos jika Perdamaian Yang Berkelanjutan ingin dicapai. Musuh bersama jelas telah tercipta. Belum dihitung dengan penetrasi posisioning bahwa bikini adalah lumrah, pakaian tertutup itu kebodohan dan pengekangan, prostitusi wajar asal legal, ekonomi tentu kuat jika tenaga kerja murah dijual pada negara maju (dengan dalih penanaman modal).
Penghancuran Gedung Sentra Perdagangan Dunia diposisikan sebagai pemicu efek domino akan perlunya sistematis penghancuran teror. Ketika kita berpikir sebagai seorang praktisi pemasaran, tentu suatu kebodohan jika kita tidak melakukan perencanaan komunikasi sebelumnya. Bahkan sangat jauh sebelumnya, bisa tahunan, kita sudah mulai mengumpulkan data, mengolahnya dan menerapkannya sebagai strategi penguasaan pasar. Bukan tidak mungkin strategi Kampanye Perang Lawan Teror ini pun telah direncanakan sebelumnya. Pengembalian para serdadu yang terculik hanyalah sebuah teaser. Gimmick yang perlu diujicoba dan dilempar untuk menyenangkan sekaligus mengetahui reaksi pasar. Lalu kapan kedamaian dicapai? Hanya Tuhan semesta alam yang tahu.
Bin Laden, Marketer Of The Century
Tak berlebihan jika gelar Pemasar Abad ini perlu kita sanjungkan kepada Usamah, anak lelaki dari Ladin. Usamah yang konon adalah mitra strategis Bush, kini dihukum sebagai anak nakal yang tidak menjalankan kebijakan demi kepentingan perusahaan yang sama. Usamah layaknya Wings yang dulu mencicipi indahnya produk Unilever, kemudian kini mencoba untuk menyainginya. Komunikasi Perlawanan dan Perjuangan sebagai sebuah gaya hidup kini diminati mereka yang merasa penindasan dan ketidakadilan harus diakhiri. Perlawanan Smile Up terhadap Pepsodent menciptakan sebuah ‘teror’ baru. Teror gaya hidup yang mengusung fungsi sosial dari sebuah produk. Bahwa bau mulut dan ket-tidak segaran mulut adalah musuh bersama kaum urban yang merasakan banyak represi dari kalangan tua. Kita tidak tahu mulut siapa yang bau, Tapi itulah kata kunci yang diterapkan Smile Up yang mengikuti gaya Close Up karena sama-sama dipasarkan kepada generasi muda. Perlawanan dan Perjuangan juga menjadi kata kunci yang dipasarkan Usamah kepada kaum muda yang masih bergairah dan militan. Represi dari mereka yang berkuasa dan ber-adi kuasa harus ditentang demi sebuah keseimbangan. Hebatnya, Usamah tidak perlu mengeluarkan biaya triliunan untuk kampanye produknya.
Hanya dengan modal kamera genggam, Kalashnikov tua dan orasi yang menggugah lewat internet, kini produknya digemari sekaligus dibenci di mana-mana. Dan disinilah keberhasilan sebuah kampanye komunikasi diukur. Ketika resistensi bermunculan, berarti komunikasi kita didengar. “Yah, cinta dan benci kan beti. Beda-beda tipis. Sama-sama dipikirin bow!”. Teriak penjaja syahwat tersegmentasi di Taman Lawang. Justru media barat lah yang dengan gencarnya memasarkan ‘teror’ ala Usamah dengan sukarela. Persepsi kita dibentuk, dan posisioning itu dimasukkan kepada konsumen global. Bahkan Usamah kini seolah menghasilkan ‘flagship’ yang di’usung’ oleh Hamas dan Hizbullah. Dibawah satu ‘umbrella’, teror. Walaupun Hamas dan Hizbullah memiliki legitimasi politis sesuai demokrasi ala Amerika, tapi mereka yang tidak segaris dengan kebijakan perusahaan harus dieliminasi. Lalu bukankah fantastis. Terima kasih kepada kampanye kompetitor, kini seolah produk Usamah memiliki dasar, premis, promise, dan benefit yang kuat untuk memenangkan posisioning di benak logika kita. Atau setidaknya simpati kita akan siapa yang benar dan siapa yang salah mulai terusik. Tapi waspada juga harus dimiliki. Karena bisa jadi mereka ingin kita untuk berpikir seperti itu.
Tiap Karakter adalah Unik dan Beda
Tentu menggerakkan massa untuk memerangi musuh bersama adalah mudah. Demi menghadapi tuntutan oposisi dan korupsi dalam negeri, Soekarno menciptakan Ganyang Malaysia. Demi menguatkan dukungan militer kepada posisi lemah Olmert yang sipil, maka IDF diberi mainan baru di tanah Lebanon. Namun bisa jadi teror yang dilabelkan kepada mereka yang memiliki pandangan yang tidak sama, justru malah akan semakin menguatkan keberadaan mereka. Pentingnya kita menyadari bahwa tiap karakter adalah beda, mulai dari terkecil individu hingga negara bangsa, adalah cara terbaik untuk memenangkan kompetisi. Bahwa dari informasi tumbuh pengetahuan. Dari pengetahuan terwujud pemahaman dan pengertian. Pemasaran Teror adalah fenomena unik dari abad informasi. Efektifitas dan kemampuan penetrasinya masih dibuktikan dengan uji lapangan yang terus terjadi hingga kini. Kelemahan yang harus dihindari dari Pemasaran Teror adalah bagaimana kita menemukan cara untuk menghentikan siklus aksi dan reaksi. Pemahaman baru yang muncul bagi dunia saat ini adalah untuk mulai mengerti kebutuhan penduduk bumi. Dan bagi praktek komunikasi, mengerti calon konsumen kita serta keinginan untuk mendengar adalah penekanan. Terutama jika kita bisa berbicara bahasa mereka.
Karena teror sesungguhnya adalah ketika kita memaksakan apa yang kita anggap benar, kepada mereka yang tidak bisa menerimanya. Homo Homini Lupus. Man, is a wolf to a man.
Adi Nugroho
Art Director | Visual Communicator
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment