Mengamati cara bicara dan bahasa rupa dari sebuah iklan di Indonesia kadang menarik, kadang membosankan. Bahasa rupa dan tanda yang dipakai, cenderung hanya berdasar pada keinginan pasar tanpa ada terobosan berbicara yang layak dipandang sebagai pendewasaan masyarakat transisi oral-verbal menuju visual. Jelas iklan Indonesia tak bisa disamakan dengan iklan Amerika atau iklan barat. Kita beda. Komunitas kita memiliki karakteristik yang tak sama dengan mereka. Para londo itu menggilai seks, humor, menjunjung individualisme, liberalisme, hedonisme, dan konsumerisme. Para bumiputra menyenangi nongkrong, mangan ora mangan ngumpul, ketawa bersama, mistis, pergunjingan, dan kekeluargaan yang terdisorsi. Akhirnya kepada siapa kita berbicara? Tentu saja, masyarakat urban kosmopolitan Indonesia tak bisa lepas dari pengaruh kebiasaan londo yang mereka gampang cerna, ketahui dan amini.
Komunitas urban adalah komunitas yang lebih terbuka, dan kadang bahkan tak sadar kenapa ia memilih sebagai orang yang terbuka. Kelompok komunal yang meleburkan gila seks, humor, individual, hedonis, konsumeris, tapi sekaligus nongkrong, penyuka mistis, bergunjing bersama, dan merasa memiliki rasa kekeluargaan yang terdistorsi. Bagaimana berbicara dengan kelompok seperti ini? Unilever cukup jeli dan bisa menjadi menarik dalam menebak kondisi masyarakat banci ini. Setidaknya bisa kita lihat dalam kampanye iklan Lifebuoy, dan Rinso paling mutakhir. Lifebuoy dan Rinso bermain dalam tataran kebersamaan namun akhirnya juga menghargai kebebasan dan keterbukaan seorang individu. Lifebuoy, khususnya dalam kampanye anti jerawatnya berkata, “..anak muda terserah ingin melakukan apa saja. Tunjukkan keberanianmu, kebiasaanmu, kebisaanmu, siapa engkau dalam komunitasmu. Jika selama beraktifitas kemudian timbul jerawat, usah kau khawatir, serahkan urusan itu pada Lifebuoy..”. Ini bisa dilihat pada kampanye Jawara tak takut jerawat sabun Lifebuoy. Sementara Rinso dengan jinglenya yang sangat catchy dan mungkin akan stuck in your head, menampilkan kampanye Berani Kotor itu Baik. Dalam tampilan visualnya, iklan itu mengajarkan kita untuk bisa melihat dari sisi lain. Seorang anak yang ikut bermain kotor-kotoran, seorang pria yang ikut mendorong mobil mogok bersama temannya saat hujan becek, dan anak bersama kelompoknya berkubang di sawah. Apa yang kita lihat? Sebuah keinginan untuk melakukan sesuatu yang baik, atau hanya kekotoran yang akhirnya bisa menimbulkan penyakit? Dengan penutup berani kotor itu baik, maka Rinso seolah menjadi pahlawan layaknya Lifebuoy. Bermainlah, berkotor-kotorlah, setelah itu serahkan semuanya pada Rinso, dan juga Lifebuoy. Sebuah pilihan. Memilih, adalah bentuk perilaku individu. Freedom of choice, yet I already know whom I choose.
Keduanya memberikan kesempatan bagi target pasarnya untuk bebas melakukan aktifitas kebersamaan apapun, bahkan yang kotor sekalipun. Tapi ketika kembali ke urusan mencari pelindung dan pahlawan, maka secara samar kita diarahkan untuk memilih karakter hero idola yang membebaskan fansnya, namun ketika dibutuhkan ia akan sukarela menolong kita. Tanpa perlu mengomel. Tanpa perlu menggurui. Bagaikan keinginan remaja terhadap orangtuanya ketika puber tiba. Rinso dan Lifebuoy adalah sang Pahlawan Idola tadi. Semiotika yang dianut adalah menggabungkan kebersamaan dengan ujung kebebasan individual. Seks jelas tak mungkin masuk di sini. Tahapan bumbu seks terhadap produk yang bukan seksis di nusantara belum bisa dipahami secara komunal. Pun tentu bukan tanpa maksud kampanye ini, dengan tema yang mirip sama, diluncurkan dalam waktu yang hampir bersamaan. Keduanya produk unilever. Dan keduanya dapat saling menunjang dengan asas manfaat yang cukup sama. Kebersihan, dan juga kesehatan. Harapannya, keduanya akan dikonsumsi secara bersama pula.
Adi Nugroho
17400029
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
16 comments:
walah...ini bersangkut paut dengan bahasa rupa dan semiotik kah dot?
aku bingung...mau comment apa...
say sumthin' ani....
mmmm mmmm
mmm.......ani nanya aja deh...
alinea 1 itu...efek prematur modernisme ato malah efek prematur postmodernisme?
(pliz...jangan siksa ani....informasi ani sepotong2 nih..puzzlenya blom lengkap..lebih pengen nanya...---hiya...ani kaya orang gila gini di sinih)
orang indonesia itu brand minded banget... ga bisa nerima brand diluar yang dia udah kenal. makanya produk2 kecil dan ukm2, ngerasa ga perlu untuk memperbaiki kemasan, dan beriklan untuk yang lain... boro2 ngiklan ama ganti kemasan, buat survive aja kadang susah. tapi itulah, ga ada sisi kompetitifnya..
susah..
must educate 'em...
efek prematur? hmm.. spertinya, kita memang republik prematur.. tapi, yang jelas, proses pendewasaan itu ada, dan gue percaya masih berjalan di indonesia : )
-d-
wah...kalo itu sih ani setuju..pertanyaannya...gmana caranya dong biar produk2 kecil dan ukm itu bisa survive (dot...ani ga bisa nyambungin tindakan aplikatif ama efek psikologisnya...hehe...maklumlah saya kan agak2 lugu...hohoh)
mo nge educate gimana?
(nganalisa itu gamoang, nyari solusinya kok agak susah ya? saya butuh bahan bacaan nih...huhuh)
ya...selagi waktu masih berjalan mungkin pendewasaan masih ada...tapi klo kasusnya...modern ajamasih prematur eh tiba2 udah dikasih postmo gimana? mau jadi apa?
Dot, tulisan mu wis tak promosi-in ning milis kok sing ngomentari cuma Ani tok. Kasian deh loe.
Kalau tugas lulusan DKV apaan Dot? Membantu UKM atau membantu Unilever? Hi..hi...hi.
nah ini ran yang gue maksud dengan must educate 'em...
pertanyaan zaki yang sangat filosofis ini...
kalau kamu lulus ran, kamu bakal bantu ukm atau unilever?
: )
gue masih terbuka kok untuk diskusi lainnya... setidaknya ada media penyaluran... semoga belum
jadi onani..
-d-
yah..kan dah ani bilang...
gimana caranya dulu...heheh...
dkv kan kapitalis...klo jaminan dari ukm ada sih..ani bantuin ukm...hahah..g sanggup juga anibantu unilever kayaknya....
Bukankah semua manusia itu branded minded? makanya ada istilah marketing dan advertising kan? tapi kalo orang Indonesia memang lebih gampang dibawa oleh merek sih.. dan indonesia sudah sangat terjangkit oleh kapitalisme, so.. good bye UKM indoensia kalo kita ga bisa segera mengubah mental itu dan bla dan bla dan bla bla bla tapi kayanya itu udah berita lama
emang bener ji, itu bukan berita baru.. faktanya adalah, bahkan hingga sekarang pun, kita ga punya brand untuk kita sendiri... buat maju ke luar, kita harus bisa bicara bahasa mereka dong.. know your enemy, kalo bisa, akhirnya kuasai mereka pake bahasa mereka sendiri. Nah selama ini, itu cuma kejadian dari produk luar dan produsen luar, yang bicara bahasa kita, akhirnya dikuasailah kita. HSBC itu contoh gila lagi, ampe ganti warna logonya (gue lupa, di negara mana) karena merah itu berarti buruk dan bencana (di negara itu). Kompas rabu ini, 11 januari 2005 ngebahas masalah branding Inodonesia yang udah 3 tahun berjudul "the ultimate in diversity", pernah denger kah? tau ga itu? smentara malaysia kita udah hapal dengan cepet, "truly asia"... itu kekuatan branding...
gue liat, anak2 hme dan himpunan2 laen, udah mulai sadar grafis dan sadar branding... itb pun mulai sadar grafis dan branding... komunikasinya masih pelan antara geng otak kiri (anak teknik) dan geng otak kanan (arsitek, sr dkk).. tapi menunjukkan perkembangan yang bagus : )
-d-
anak2 itb mulai sadar grafis...rektornya kagak...logotype itb diilangin...jadilah itb gajah arogan berasa masih raksasa sendirian...
blah..
indonesia memang ga punya ciri khas dan ga mau nyari ciri khas sendiri. Malaysia punya petronas kita mau bikin menara jakarta, sepangnya malaysia ikutan F1, kita mau bikin sirkuit di bali. kenapa ga kita nyari ciri khas sendiri yang bisa jadi kekuatan satu-satunya di dunia? jangan cuman ikut-ikutan.....
udah ga nyambung ya?
Wakakakakakak... Menurut gw ga salah kalo konsumen itu brand minded. Kalo suatu masyarakat udah fanatik sama suatu brand, berarti peran advertising udah berjalan dengan semestinya dan bisa dibilang sukses. hahaha..
Lagian, brand itukan refleksi dari product personality dan konsumen cenderung nyari produk yang personalitynya sejalan sama personalitynya sendiri.. so, Gak salah dong kalo Didot(bukan nama sebenarnya) lebih milih buat pake iBook ketimbang pake Vaio, karena sesuai sama personalitynya yang so' imut dan ke-cewe-cewe-an... wakakakakak...
hehehe dam, bisa aja lo.. btw gue tidak mencoba mengangkat masalah orang kita brand minded, tapi mencoba mewacanakan begitu pinternya orang luar memanipulasi dan 'bicara bahasa' kita, sementara kita ga bisa dan ga pinter buat 'bicara' bahasa mereka.. boro2 manipulasi : )
ibook? sbenarnya masalah finansial sih dam, walo keluarga mac selalu menjadi concern gue hehehe.. kalo punya rejeki, pengennya juga powerbook... : D amien!
-d-
eh, tapi advertising akhir2 ini bagus lho, ga melulu jual bodi cewe. iklan lainnya yg aku suka itu iklan2nya a mild. sangat menohok :)) cuma seperti kata temenku --> fungsinya sebagai iklan jalan ga? apakah dengan iklan itu orang2 bakal beli a mild?
brand untuk ukm? bahkan dengan metode dari mulut ke telinga aja gudeg mbok berek udah dikenal banyak orang :D
masalah brand indonesia, itu emang brand yg rumit. brand-nya jogja aja lebih gampang diinget: never ending asia.
pa kabar boul, kapan2 ke smg mampir ke Hayamwuruk. salam buat si Ikram, masih jomblo kah dia, ha22222
udin wong asli semarang
Wah may, kalo ngomongin iklan itu kena ga sebagai iklan, itu bakal panjang lagi hehehe dan kenapa gue baru bales komen sekarang yah? heuheuhue.. pendeknya, a-mild itu udah bikin kampanye dari kapan taun.. dan karena a-mild merasa sudah cukup kuat posisinya sebagai sebuah rokok enteng buat anak muda, skarang dia cuma harus mempertahankan imej tadi di pikiran anak muda sekaligus menjaring pikiran konsumen baru. apakah ga susah? ga, ini sama aja kaya denger cerita dari yang lebih tua. nah generasi sebelumnya yang sudah pernah ngerokok a-mild, tentu dia bisa bercerita apa itu a-mild, kepada generasi baru yang penasaran, ini iklan ngomong apa sih? begitu kira2 : ) dan masih termasuk lagi ini bentuk jualan soft sell.. apa itu? panjang lagi heuheuhue.. btw maya, selamat udah jadi sarjana
-d-
Post a Comment