Kusmayanto Kadiman kembali mencatat sejarah. Rektor pertama di era BHMN ini malah berhenti di tahun ketiga-nya untuk kemudian menjadi menteri. Apa yang terjadi? Mengapa ia memilih menjadi menteri? Simak penuturannya kepada wartawan Boulevard ITB Ikram Putra.
Bagaimana perasaan Anda, menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi?
Hampir nggak ada perubahan tuh. Sama seperti pada November 2001. Orang-orang bertanya: bagaimana rasanya jadi rektor? Nggak ada, biasa aja tuh.
Itu semua kan bukan sesuatu yang dropped from the sky. Karena dia bukan ujug-ujug (tiba-tiba, red), makanya tidak ada perubahan yang dramatis. Mungkin ini terdengar sebagai pembenaran. Memang saya berupaya menjadi menteri. Iyalah, namanya juga manusia, tendensinya membuat dirinya tumbuh dan naik terus.
Saya tidak begitu surprised karena sebelumnya saya juga sering bertemu dengan tim sukses Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi saya juga ketemu dengan tim sukses Mega. Itu posisi yang saya mainkan, supaya ITB aman. Dia menjadi dekat dengan semua pihak, dan membuat equidistance kepada semua pihak.
Kapan sering bertemu dengan tim sukses calon presiden?
Menjelang pemilihan presiden putaran kedua. Saya banyak mendekati mereka, mengundang berkampanye di kampus. Saya terpaksa, karena pendekatan-pendekatan biasa itu sulit sekali. Mereka-mereka itu kan punya barikade yang luar biasa. Nah itu harus ditembus dengan cara-cara yang tidak biasa. Pak Aryo (Ir.Aryo Wibowo, Ketua Satgas Pemilu ITB—red) saja, otorisasinya tidak cukup kuat untuk menembus barikade itu. Nah, saya merasa punya network yang suka aneh-aneh. Dari preman sampai menteri. Saya juga punya legalitas sebagai rektor ITB.
Apakah Anda tidak sadar, jika Anda merapat terus, bisa-bisa dijadikan menteri?
Celetukan dari beberapa bilang, “Kus, mereka pasti mencari profesional. Sedangkan Anda itu figur yang profesional, netral dan nonpartisan. Dia pasti butuh,”. Di kancah Indonesia sekarang, orang seperti saya ini katanya langka. Artinya yang berjuang tanpa membawa kepentingan pribadi atau golongan. I’m a soloist lah, dalam hal ini. Walaupun tidak semuanya benar.
Saya mulai merasa bahwa saya akan diajak, begitu mereka mulai minta “Pak Kus, tolong tuliskan selembar-dua tentang pemikiran Anda tentang education, telecommunication,”. Mereka berdalih ini untuk memperkaya pidato-pidato saat mereka kampanye. Ada dong, firasat “aku sedang diincar, nih” atau sedang di-talent scout. Okelah, I do my best. Dan di bidang-bidang yang saya mengerti.
Tapi tetap, ada keterkejutan publik ketika Anda muncul di Cikeas…
Beberapa kalangan kecil yang mengetahui gerakan saya sih bilang tidak aneh. Nah, karena itu beberapa kali saya sering—dengan gaya bercanda saya—mengatakan: mimpi kali yee? Itu untuk menenangkan mereka bahwa saya tidak bermain aneh-aneh.
Memangnya seaneh apa sih permainan Anda?
Saya hanya tuliskan singkat tentang pembentukan departemen baru. Kemudian saya usulkan juga, kepedulian saya akan dunia telekomunikasi Indonesia. Saya mengatakan bahwa kontribusi Information and Communication Technology terhadap pendapatan negara kecil sekali. Kita lakukan kajian disini. Saya juga menyoroti inefisiensi penggabungan antara content dengan infrastruktur. Apalagi dengan diletakkannya telekomunikasi di bawah Departemen Perhubungan. Itu kan aneh. Saya mengusulkan telekomunikasi dimasukkan ke Kementrian Informasi dan Komunikasi, yang selama ini hanya content—itu pun menjadi corong pemerintah.
Dengan begitu banyaknya ide-ide tentang hal-hal tadi, mengapa Anda masih mengatakan belum mengetahui benar mengenai seluk-beluk Riset dan Teknologi?
Saya lebih suka to deliver beyond my promise ketimbang under. Makanya nggak usah cerita yang aneh-aneh lah. Mending ABG (Academicians, Businessmen, Government—red.) dulu deh. Konsep-konsep yang sederhana.
Itulah mengapa agenda hari pertama saya tidur. Karena memang capek sekali. Orang-orang kan sudah ada di Jakarta, sedangkan saya masih di Bandung. Mengantuk sekali.
Adang Surahman ditetapkan menjadi pejabat sementara rektor dalam dua bulan ke depan sampai terpilihnya rektor baru…
Itu aneh. Itu melanggar siklus kita yang lima tahunan. Menurut saya, angkat saja untuk menghabiskan waktu. Yang saya harapkan itu biarkan saya sebagai rektor—bukan berarti saya pencinta jabatan, namun menjaga kekompakan tim. Memang melanggar PP 155/2000, tapi jika kita kompak semua, nggak melanggar dong namanya. Sampai Desember saja, saya hanya menjalankan kelangsungan operasi. No new big policy. Bersamaan dengan itu, silakan mereka memproses pemilihan rektor.
Tim saya sekarang ini kompak sekali. Begitu saya mundur, mereka juga mau mundur. Mereka bilang, “Buat apa? Kita kan kontraknya sama elo, bukan MWA”. Tapi, itu masih dibicarakan.
Ternyata rektor pertama di era otonomi hanya menjabat selama tiga tahun...
Yah, sebelum saya mengatakan: yak! gua mau jadi menteri!, itu sebenarnya pilihan yang berat sekali. Kalau saya tidak jadi menteri, beratnya itu adalah saat jabatan saya habis pada 2006. Terus gua mau jadi apa? Board challenge. Saya akan langsung pindah ke Eropa. Saya akan memimpin sebuah taskforce on Asia di European Commission, karena pengalaman internasional saya juga luar biasa banyak. Tapi, is that really what I want? Sementara 2004 ini kesempatan emas untuk go national.
Di sisi lain, ITB itu bayi saya, my cute baby, yang baru saja belajar merangkak. Nah, jika ditinggalkan bagaimana? Proses tarik-ulur ini cukup lama. Sampai teman-teman saya mengirim sms, bertanya “masih sakit perut?” karena mereka paham.
Kalau saya tidak ambil kesempatan menjadi menteri saat ini, saya harus menunggu sampai 2009. I’ll be too old already. Lantas ada vakum dari 2006 sampai 2009. Itu pilihan-pilihan yang ada. Sementara kawan-kawan bilang, “Take it! The country needs you! Kalau nggak, nanti para politikus dan para pedagang saja yang ada disitu.”
Bagaimana dengan Anas Hanafiah, yang mengaku memiliki raport merah Anda?
Lagu favorit saya adalah Forgiven Not Forgotten dari The Corrs. Saya mudah memaafkan, tapi butuh waktu untuk melupakan. Personally, I have nothing.
Saya nggak tahu apa maunya Anas. Dia bilang dia nggak pernah ketemu saya, padahal kita pernah ketemu di sini three hours on Sunday. Dulu pertama kali saya sempat ngambek sama dia. “Gila, ini anak maunya apa sih?”. Saya sempat berhubungan harmonis dengan KM—zamannya Alga Indria. Memburuk dengan Ahmad Mustofa, karena kalau berbicara sama dia sering tulalit.
Ada semacam lembaran pertanggungjawaban selama menjadi rektor?
Oh, harus. Tapi sebenarnya gampang. Karena tiap tahun kami sudah bikin laporan. Jadi mudah, saya hanya menyusun laporan dari Januari sampai 21 Oktober.
Apa harapan untuk ITB ke depan?
Kelangsungan transformasi dan operasi, yang sudah well-documented, itu dijalankan. Pegangannya apa, yaitu Rencana Kerja dan Anggaran 2004.
Wawancara di atas dimuat pada Boulevard edisi 50, November 2004
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
Ji, kayak ga ada berita aja masih ngirim yang edisi 50. :D
eh itu bukan gue yang posting tapi permintaan si narsis ikram
harap maklum
eh eh itu kan buat keperluan tugas. kok lo nggak bilang sekalian sih 'Ji. idih, menutupi fakta.
Post a Comment